litani

3 0 0
                                    

"Apa kalian sadar? Kalian mengucapkan doa yang sama setiap harinya?"

.

.

.

[Juro POV]

Dua minggu lamanya dia mengunjungi Kayabuki no Sato. Aku dan Ume membeberkan semua masa lalunya dengan mendetail pada Sora tanpa ragu sedikit pun. Kami berpikir tidak ada salahnya untuk mengatakan apa yang terjadi pada masa itu langsung di depan Sora. Toh, kehendaknya pergi kemari untuk menanyakan perihal itu padaku.

"Setelah ini apa?" tanya Ume.

Aku mengangkat kedua bahu sebagai jawaban. "Menunggu tahun depan datang, dia bilang sebelum pergi kesini tahun depan dia akan datang," ucapku. Ume mengangguk paham setelah aku mengucapkan hal itu.

Langkah kaki kami yang sejajar berhenti didepan kediamanku. Kediaman yang lebih suram dari tempat-tempat lainnya. Aura dingin yang berada disekitarnya menguar seolah mengatakan untuk pergi saja.

Sejak Ibu meninggal, kediaman ini jadi sangat jelek. Yah, walau aku bersusah payah untuk merapikannya bersama dengan Nenek. "Ocha seperti biasa 'kan?" Lagi-lagi dia mengangguk, dengan begitu aku melangkahkan kaki ke dalam dapur yang alasnya terbuat dari tanah liat. Tidak ada eksistensi lain selain kami diruangan ini.

Nenek kemungkinan besar tidur dikamar dengan Tami dan Mamoru mengingat ini jam mereka tidur siang. Ayah bekerja dari pagi sampai malam disebuah kantor yang letaknya agak jauh dengan Kayabuki no Sato. Aku membalikkan tubuh dan membawa nampan berisi dua gelas ocha dengan tambahan nasi kepal dan makanan manis lainnya.

"Ini," kataku seraya menggeser salah satu gelas keramik ke hadapan Ume. "Bagaimana kalau kita pergi ke kota, ke Osaka dan memulai hidup baru? Lagian kita sudah menabung dari dulu 'kan?" Pikiranku melayang entah kemana hingga bisa-bisanya aku mengatakan hal nekat semacam ini.

Sontak saja, Ume terbatuk-batuk mendengar pernyataanku. "Chotto matte! Jangan nekat, ya, terakhir kali kau benar-benar punya nyali saat jam pelajaran olahraga sampai mengundang babi hutan masuk ke lapangan sekolah!" Setelah itu dia menggelengkan kepalanya seolah melepas beban yang ditaruh di atas kepalanya.

"Tidak, hanya saja.."

Aku menghentikan ucapanku dan beralih mengelus pinggiran dari cangkir keramik. "Kalau begini terus apa yang kita impikan itu malah jadi terhambat," aku menambahkan dari ucapan yang sebelumnya aku ucapkan pada Ume. "Kau tidak sepenuhnya salah, sih cuman kalau modal nekat begini saja agak susah, ya," bisik Ume.

Kematian Sano membuat persahabatan kami merenggang hebat yang membuat jurang besar diantaranya. Kalau begini terus kami bisa tertinggal dan impian kami hanya sebatas harapan.

Terdengar helaan napas dari mulut Ume. Sedang meringankan beban yang kini tersumbat di kerongkongan. "Aku akan bilang pada Ibu dan Ayah soal ini, bagaimana? Kau juga, bisa 'kan diskusikan dulu dengan Ayahmu?" tanyanya dengan hati-hati. Sambil menyesap ocha yang ada pada cangkir, aku memikirkan jawaban yang sudah pasti akan keluar pada mulut Ayah.

Kemungkinan besar dia tidak akan mengizinkanku untuk pergi ke kota. Dengan alasan umurku baru menginjak 16 tahun. Lagipula, bulan depan aku akan berumur 17 tahun secara resmi.

tsunagu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang