3

20.8K 1.7K 86
                                    

Kirana tergeragap, seketika memundurkan langkah. Namun, naas. Ia melupakan fakta jika dirinya sedang berada di tepi sungai berbatu sehingga saat kakinya melangkah mundur, bebatuan di belakangnya menghalangi langkahnya. Membuat dirinya oleng dan nyaris terjatuh di sungai berbatu jika saja sebuah lengan kokoh tak menahan tubuhnya.

Dejavu. Peristiwa ini pernah ia alami. Enam tahun lalu. Peristiwa yang berujung petaka. Menyadari hal itu Kirana seketika mendorong tubuh tegap yang menempel di tubuhnya meskipun pada akhirnya Kirana sempoyongan demi mencari pegangan bebatuan di sekitarnya.

Senyum teduh seketika Kirana tangkap saat akhirnya ia bisa menguasai diri. Kirana menarik napas dalam lalu mengembuskannya pelan. Bersiap untuk menghadapi pria di hadapannya itu.

"Apa kabarmu, Na? Terima kasih karena pada akhirnya kamu mau pulang."

Suara itu. Suara dalam yang sudah sekian lama tak ia dengar kembali memasuki telinganya. Efek yang ditimbulkan begitu luar biasa, nyaris membuat jantung Kirana melompat jika saja benda itu tak tersembunyi di dalam tubuhnya.

"Aku baik, gimana dengan kabar..." Kirana kebingungan harus memanggil pria itu dengan panggilan apa. Apalagi status pria itu saat ini sudah berbeda. Salahkan saja status pria itu yang berubah-ubah di dalam keluarganya, hingga ia pun saat ini kebingungan harus memanggil apa. "Gimana dengan kabar kamu?" Kirana mengulang pertanyaannya dengan bibir terbata. Lebih baik ia menggunakan kata kamu dari pada kebingungan harus memanggil apa. Benar-benar tidak sopan. Jika kakeknya masih hidup tentu pria kesayangan Kirana itu akan mengutuknya.

Pria itu lagi-lagi mengulas senyuman teduh andalannya, hal yang membuat Kirana jungkir balik sejak ia mulai beranjak remaja dan mulai tertarik pada lawan jenisnya. Kini meskipun enam tahun berlalu sepertinya Kirana masih belum bisa menghapus keindahan senyum pria itu.

"Sama sepertimu. Mencoba untuk merasa baik." Kalimat pria itu seketika menampar Kirana pada kenyataan di hadapannya. Pria ini masih merasa bersalah. Masih belum memaafkan dirinya sendiri. Hal yang juga Kirana rasakan meskipun enam tahun berlalu.

"Pulanglah, jangan tinggal di sini. Tempat ternyaman adalah rumah. Jika kamu merasa tidak nyaman karena keberadaanku di rumah, kita bisa bertukar tempat. Kamu tinggal di rumah sedangkan aku di sini."

"Tidak usah, aku ingin tetap di sini," potong Kirana cepat. Berusaha menghentikan apapun yang akan pria itu sampaikan.

Pria itu terlihat menarik napasnya berat. "Kamu yang lebih berhak tinggal di sana."

"Sama saja."

"Setidaknya datanglah ke rumah. Apa kamu tidak merindukan tempat itu? Kamu juga sepertinya perlu mengunjungi makam kakek, ayah, ibu juga Karina."

Ah... Pria itu ternyata masih menempatkan diri di posisi terakhirnya. Kirana membatin dengan senyuman hambar di wajahnya

Hening. Kirana memilih diam.

Hingga akhirnya ia hanya bisa memilih mengatur dadanya yang bergemuruh kala satu persatu orang yang begitu ia sayangi disebut oleh pria itu. Ada getar rindu. Namun, rasa takut lebih mendominasi. Satu rasa yang juga ternyata bersemayam di hati Kirana. Sakit.

"A... Aku. Aku pasti akan ke sana." Kirana akhirnya berucap dengan terbata setelah keheningan menelan mereka. Untung saja gemericik air yang mengalir di kaki Kirana membuat keheningan itu tak terlalu mencekam.

"Cobalah memaafkan dirimu. Sudah enam tahun berlalu. Jangan terus menerus menghindar dan memendam rasa menyakitkan itu. Kita semua merasa kehilangan atas kepergiannya. Tapi hidup tetap harus berjalan."

Kirana menggeleng.

"Pulanglah. Hadapi ketakutanmu." Setelah mengucapkan kata-kata itu pria itu pun berbalik. Berjalan tegap menjauhi sungai lalu menaiki petak-petak tanah yang telah dihuni bangku-bangku dari kayu gelondong yang terbelah dua. Semakin jauh hingga akhirnya menuju bangunan utama restoran.

RiversideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang