Yang bingung alurnya, baca pelan-pelan aja ya. Nanti bakal tahu kok bab ini lanjutannya yg mana.
Selamat membaca dan silakan tinggalkan jejak.
###
"Muak? Jangan bercanda. Kamu adalah kakak iparku. Kamu menikahi kakakku. Lalu aku harus memanggilmu apa? Om? Kamu tidak menikah dengan bibiku." Kirana seketika menangkis ucapan Narendra. Terlanjur, pria itu tadi sepertinya begitu tak sabar, kini Kirana juga melakukan hal yang sama.
"Tapi aku adalah pamanmu."
"Jangan menyebut hal itu. Kalian semua membodohiku."
"Aku tak bermaksud melakukan hal itu."
Kirana membetulkan dalam hati. Entah pria itu dulu memang tidak memiliki perasaan apapun kepadanya sehingga tak perlu menjelaskan posisinya di keluarga Kirana. Toh apapun itu kenyataannya, akan sama saja baginya tapi, tentu tidak bagi Kirana. Ataukah... Entahlah. Kirana sudah lelah mencari tahu. Yang pasti apapun itu, semuanya sudah tak ada gunanya.
"Aku minta maaf, An."
"Jangan terus menerus mengucapkan kata itu. Kamu tidak tahu dengan apa yang kamu ucapkan."
"Aku yang salah. Jika saja aku tidak menemuimu di sungai di bawah sana, pasti peristiwa mengerikan itu tidak akan terjadi dan kamu tidak akan menjauh. Ayah juga tidak akan hidup dalam penyesalan seumur hidup karena selain terpukul karena meninggalnya satu cucunya, cucu lainnya pun ikut pergi." Kirana tak mampu membuka mulutnya. Sungguh tak ada seorang pun yang ingin mengingat peristiwa enam tahun lalu. Tidak ada pihak yang benar dalam peristiwa itu. Karina, sang kakek, Narendra, dan termasuk juga dirinya. Semuanya salah.
"Kamu tadi menyuruhku untuk melupakan masa lalu, memaafkan diri sendiri. Kini kenapa kamu justru kembali berkubang dalam rasa menyakitkan itu lagi?" Kirana akhirnya berucap setelah menit demi menit mereka lalui dalam kebisuan. Ia tak mungkin seperti ini terus menerus. Perlahan, ia harus menghadapi ketakutannya, memulai kehidupan yang baru, dan tak kalah penting memaafkan diri sendiri.
"Maaf. Aku hanya sedikit terbawa emosi." Pria itu terlihat mengusap wajahnya gusar. "Terus terang aku benar-benar kacau. Kehilangan Karina, ayah, lalu sekarang sikapmu seperti itu. Aku benar-benar tak mampu berpikir jernih."
Kirana menarik senyum miris. Pria ini lagi-lagi memanggil sang kakek dengan panggilan ayah. Apakah hal itu berarti pria ini sudah menutup lembaran kehidupannya dengan Karina?
"Aku akan pulang. Itu pasti. Tapi tolong beri aku waktu. Aku juga perlu menata hatiku. Tak mudah bagiku untuk melupakan kesalahanku. Aku perlu keberanian yang cukup besar saat akhirnya memutuskan pulang. Kini, saat tinggal selangkah lagi, aku harap kamu mengerti jika aku juga masih butuh waktu untuk menata hati. Pulang ke rumah adalah satu ketakutan bagiku. Dan hal itu bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi."
Narendra akhirnya menganggukkan kepalanya pasrah. Pria itu sepertinya akan membebaskan apa saja yang Kirana inginkan. "Lakukan apapun yang membuatmu nyaman, An. Dan bukan kamu yang seharusnya merasa bersalah tapi aku." Pria itu menutup kalimatnya, hal yang membuat Kirana juga ikut bungkam. Lalu tak lama kemudian Kirana akhirnya pergi dari ruang menyesakkan itu.
Menyesakkan karena sejak ia melihat pria itu dari dekat, keinginan melemparkan diri dan tenggelam dalam pelukan pria itu begitu kuat. Kirana mengutuk dirinya sendiri. Betapa murahan dirinya. Setelah kesalahan yang ia buat bersama dengan pria itu di masa lampau, masih saja membuatnya ingin mengulang hal yang sama.
***
"Bu Sari, besok pagi bisa antarkan saya ke makam, kan?" Kalimat itu terlontar seusai Kirana menikmati makan malamnya. Seharian ini tak banyak hal yang Kirana lakukan. Selepas sarapan ia hanya berkeliling area bungalo, restoran, dan area petik sayur demi melihat keseluruhan area Riverside. Ia juga menyempatkan diri menyapa beberapa tamu yang ikut memanen sayuran yang kebetulan setiap hari ada yang bisa dipanen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riverside
RomancePulang. Kembali ke kampung halaman yang telah ia tinggalkan enam tahun yang lalu adalah hal terberat yang harus Kirana lakukan. Ingatan masa lalu yang masih tak lekang oleh waktu membuat rasa itu kembali menyapa. Pelan. Namun, menyakitkan. Permintaa...