15

11.6K 1.2K 44
                                    

Horeee... Akhirnya bisa update lagi. Tepuk tangannya duonk 🤣🤣🤣🤣

Kasih jejak di sini!

Bintangnya juga, ya.

Kalau ketemu kalimat yg nganu jangan sungkan buat komen, ya. Maklum aja. Ketik langsung publish.

Happy reading.

###

"Kok di sini, Mbak?" Sari keheranan saat Kirana telah mengekorinya ke dapur.

Kirana hanya menyunggingkan senyum tipis lalu mengulurkan tangannya yang membawa kantung plastik berisi oleh-oleh dari Faiza. "Itu  barusan perawatnya bawain. Katanya buatan ibunya."

Sari mengambil kantung plastik yang Kirana ulurkan lalu memeriksa isinya. "Oh, ketan durian. Berarti di kebun pak kades sudah mulai jatuh duriannya. Yang di kebun kita masih belum ada yang jatuh," ucap Sari sambil mengeluarkan kotak-kotak itu dari dalam plastik lalu meletakkannya di atas meja dapur. Darmi yang baru saja berkutat pada tempat pencucian piring pun mendekat.

"Koyok e gak suwe maneh duren e mulai rutuh, Yu Sari. Wingi Pak Ali mrono nemu loro."¹

"Alhamdulillah. Berarti habis ini mulai jaga duren." Sari menimpali yang semakin membuat Kirana kebingungan.

"Memangnya kita punya pohon durian ya, Budhe?" tanya Kirana pada Darmi. Seketika anggukan diberikan oleh Darmi dan Sari bersamaan.

"Masak Mbak Kirana lupa. Dari dulu memang sudah ada. Tapi hanya beberapa pohon saja. Warisan dari zaman kakek buyut dulu. Pohonnya besar-besar, tapi sejak Mbak Kirana kuliah dulu, ladang yang di atas bukit sana mulai ditanami durian dan pohon-pohon buah lainnya seperti alpukat dan petai. Beberapa tahun belakangan ini semuanya sudah mulai berbuah. Biasanya pengunjung Riverside makin ramai kalau sudah musim. Durian kita memang tanpa cela. Manis, tebal, berbiji kecil. Jadi banyak yang beli. Terkadang kita kekurangan stok, tapi Pak Rendra tidak mau mengambil dari ladang orang lain. Khawatir rasanya tidak sama." Sari menjelaskan panjang lebar.

"Kenapa kita nggak buat wisata kebun durian aja, Bu Sari. Pengunjung langsung dibawa ke ladang dan menikmati buahnya di sana. Pasti banyak yang suka." Kirana seketika mendapatkan ide.

"Rencana itu pernah ada tapi realisasinya sulit. Jarak ladang yang jauh butuh perhatian ekstra. Apalagi kita juga harus menata ladang. Dananya cukup besar, Pak Rendra lebih memilih fokus di Riverside. Apalagi durian kan buah musiman dan tidak setiap tahun buahnya bisa dipastikan akan lebat. Curah hujan yang tinggi saat musim berbunga sudah pasti akan merontokkan bunga dan bakal buah. Makanya Pak Rendra tidak terlalu berkeinginan untuk mengelola ladang. Cukup biarkan ladang berfungsi seperti biasanya saja. Lagi pula lahan di bawahnya masih bisa dikelola jika tetap difungsikan sebagai ladang."

Kirana mengangguk-anggukkan kepala mengerti. Narendra pasti sudah memikirkan hal itu. Pria itu bukanlah orang yang gegabah dalam mengambil keputusan. Yang terbaiklah yang akan pria itu ambil.

"Mbak Kirana kok nggak di depan saja. Kalau Pak Rendra butuh sesuatu bagaimana?" Kali ini Darmi menyela. Wanita itu sepertinya ingin mengembalikan topik pembicaraan seperti semula saat Kirana memasuki dapur.

"Sepertinya perawatnya sudah membawa semua yang dibutuhkan. Lagi pula Om Rendra juga bisa jalan sendiri." Kirana mulai malas melanjutkan pembicaraan.

"Bukannya tadi Pak Rendra muntah-muntah, Mbak? Siapa tahu beliau butuh bantuan." Darmi seolah memaksa Kirana agar keluar dari dapur.

"Orang keras kepala kayak Om Rendra mana mau dipaksa. Aku sudah bilang suruh ke rumah sakit aja, tapi nggak mau. Ya sudah terserah dia aja."

Darmi sekilas saling lirik dengan Sari sebelum Sari yang bergantian berucap, "Makanya Mbak Kirana di rumah saja. Pastikan Bapak baik-baik saja. Kita kan tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi sekarang hari Minggu. Saya dan Darmi juga pekerja lain di sini akan ke Riverside untuk membantu di sana. Mbak di sini saja menemani Pak Rendra. Takutnya beliau justru ke Riverside kalau tidak ada orang yang mengawasi beliau di rumah. Nanti kalau di sana, sudah pasti Pak Rendra akan keliling dan membantu anak-anak. Ngeri saya bayanginnya kalau lihat Bapak jalan naik turun kesana kemari pakai tongkat. Bagaimana kalau sampai jatuh lagi? Atau yang pasti terjadi adalah kecapekan lalu berefek pada kesembuhan kaki beliau. Ini saja Pak Rendra tidak mau periksa ke rumah sakit jadi kita masih meraba-raba kondisinya."

Kirana terdiam. Merenungkan kalimat panjang yang disampaikan Darmi dan Sari bergantian.

"Saya dengar upah tukang juga belum dibayar, Mbak. Kasihan seharusnya kan hari Sabtu mereka terima upah. Sekarang sudah Minggu. Mungkin, Mbak bisa di sini saja membantu Bapak kalau misalnya Mas Nazril, yang ngurusi tukang ke sini untuk mengurus upah." Darmi lagi-lagi menambahi. Membuat Kirana yang sudah bertekad akan ke Riverside pagi ini meskipun nantinya kembali saat hendak tidur akhirnya mau tak mau membatalkan keinginannya.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan di sini saja," ucap Kirana dengan nada lemah. Namun, berefek sebaliknya pada dua orang wanita di hadapannya. Mata mereka sekilas berbinar. Namun, tak sempat diketahui oleh Kirana.

"Kalau begitu makan siangnya akan dikirim dari Riverside saja, tidak usah masak di sini. Mbak Kirana mau menu apa?" tanya Sari bersemangat.

"Nanti saja, Bu. Aku akan menghubungi kalau sudah mau makan siang. Bu Sari dan Budhe Darmi kapan mau berangkat?"

"Sekarang!" jawab kedua wanita itu bersamaan. Membuat Kirana mengerutkan kening heran karena semangat mereka yang terlihat meluap-luap.

"Oh ya, sepertinya Mbak Faiza sudah pulang." Darmi menolehkan kepala ke luar dapur. "Itu suara sepeda motornya," lanjutnya lalu bangkit menuju pintu dapur yang mengarah pada halaman samping sehingga area carport tempat Faiza memarkir sepeda motornya bisa terlihat.

"Mbak Faiza itu ayu, yo, Yu. Isik enom, perawat, kalem pisan. Aku coba duwe anak lanang wes tak pek mantu."² Darmi mulai berceloteh.

"Halah, Mi. Wong koyok Pak Kades yo gak gelem duwe besan koyok awak dewe iki. Bedo karo Pak Rendra. Masio dudo tapi guanteng, wonge sabar terus mapan. Kabeh yo gelem. Gak onok sing nampik."³ Kalimat balasan dari Sari entah kenapa membuat Kirana gerah. Mereka berbicara seolah Kirana tidak ada di sana.

"Iya sih. Mbak Kirana harus siap kalau sebentar lagi punya tante baru. Tantenya masih lebih muda dari Mbak Kirana, lagi." Darmi menimpali membuat Kirana seketika menolehkan kepala kepada wanita itu.

"Maksudnya gimana, Budhe? Om Rendra ada hubungan dengan perawat itu? Sejak kapan?" Kirana sama sekali tak tahu fakta itu. Hal yang wajar karena ia baru satu minggu ini pulang. Lagi pula selama ini ia tak pernah berkeinginan mengetahui kabar apapun dari Narendra.

"Berarti Mbak Kirana ndak tahu, ya. Bu Kades kan sudah sejak dulu berniat mendekatkan Mbak Faiza kepada Bapak sepeninggal Mbak Karina. Semua orang sudah tahu hal itu. Lagi pula kan Bapak sudah lama menduda. Usia juga sudah tidak lagi muda. Hampir seumuran saya. Kasihan kalau sendirian terus." Sejenak Kirana terdiam mendengarkan penuturan Darmi. Apa yang wanita itu katakan tak ada yang salah. Narendra sudah cukup berumur dan pria itu sudah begitu lama menduda. Namun, rasa berat menggelayuti dadanya. Padahal Kirana masih begitu ingat dengan keinginannya saat ia kembali ke kampung halamannya ini. Menghapus nama Narendra dari hati dan hidupnya.

"Ya, siapa tahu kali ini memang berjodoh sama Faiza, Mi. Lagi pula mereka kan serasi meskipun selisihnya sangat jauh. Faizanya juga gadis yang baik. Bagaimana menurut Mbak Kirana?" Sari melemparkan tanya pada Kirana. Membuat Kirana seketika tergeragap lalu dengan terpaksa menganggukkan kepala.

"Jika Om Rendra berkeinginan kembali untuk berkeluarga, pasti gadis yang ia pilih adalah yang terbaik. Semoga saja Faiza bisa menyempurnakan pilihan Om Rendra." Kirana bangkit dari kursi kayu yang ia duduki. "Aku mau lihat ke depan dulu. Takut Om Rendra butuh sesuatu." Tanpa menunggu respons kedua wanita itu, Kirana meninggalkan dapur yang semula ia harap akan mampu menenangkan pikirannya. Ia salah. Justru setelah dari dapur ia merasakan rasa tak nyaman yang begitu kentara. Rasa yang ia kenali sebagai rasa kecewa yang telah lama ia pelihara. Bahkan sejak enam tahun lalu. Sepertinya ia lagi-lagi akan kembali mengalaminya.

###

1. Sepertinya tidak lama lagi duriannya mulai berjatuhan, Yu Sari. Kemarin Pak Ali ke sana menemukan 2 buah.

2. Mbak Faiza cantik ya, Yu. Masih muda, perawat, kalem juga. Coba aku punya anak laki-laki, sudah tak ambil mantu.

3. Halah, Mi. Orang seperti Pak Kades mana mau punya besan seperti kita ini. Beda kalau seperti Pak Rendra. Meskipun duda tapi ganteng, orangnya sabar dan mapan. Semua orang ya pasti mau. Tidak ada yang menolak.

###

Nia Andhika
29012023

RiversideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang