Mana bintangnya?
Mana suaranya?
###
"Dialah pria itu." Sang kakek berucap sambil menggerakkan dagunya ke depan ke arah Kirana. Ralat. Ke sebelah Kirana. Membuat Kirana makin kebingungan.
"Maksud kakek?"
"Om kamu yang akan menikah dengan Karina."
Kirana sontak membuka lalu menutup mulutnya tak percaya. Ia memandang kakaknya yang kini sudah duduk di sofa sebelah sang kakek. Gadis itu terlihat mengedikkan bahunya dengan begitu santai, seolah membenarkan kalimat kakeknya. Kirana menolehkan kepala ke samping. Pada pria yang dimaksud sang kakek. Ekspresi pria itu tetap sama. Datar. Namun, anggukan pelan pria itu berikan. Hal yang tentu saja membuat Kirana membeku. Seketika Kirana melepas genggaman tangannya pada lengan sang paman.
Bagaimana mungkin...
Bagaimana mungkin...
Bagaimana mungkin Narendra bisa menikah dengan Karina?
Kirana bertanya dalam hati. Berusaha untuk memahami apa yang terjadi saat ini.
Kapan mereka mulai dekat?
Kapan mereka mulai menjalin hubungan manis itu?
Kenapa dirinya tak tahu?
Bodoh!
Bukankah selama ini Kirana hidup merantau demi bisa kuliah di universitas impiannya? Tentu saja Paman dan kakaknya berhubungan tanpa sepengetahuannya.
Tapi...
Bagaimana bisa?
Bukankah mereka adalah paman dan keponakan?
Jika Kirana tak boleh menganggap pria itu selayaknya pria dewasa di luar sana, tentu Karina pun sama.
Pria itu adalah anak bungsu kakek Wisesa. Adik dari ayah Kirana dan Karina.
"Om Rendra kan adik ayah. Kalian berdua tidak bisa menikah." Kirana berucap pelan berusaha mengungkapkan keganjilan pada hal yang ia dengar.
Disembunyikannya getar dalam suaranya. Selama ini ia menahan diri dan berusaha membabat habis perasaannya untuk pamannya itu. Pria yang diam-diam menghuni hati Kirana sejak ia mengenal apa itu mencintai. Kini, kenapa dengan santainya sang kakek mengatakan jika Karina akan menikah dengan sang paman?
"Om dan ayah kamu tidak bersaudara kandung, Na. Om kamu adalah anak angkat kakek." Wisesa kembali berucap lembut, berusaha membuat cucu bungsunya paham dengan apa yang ia sampaikan. Namun, hal itu berefek berbeda bagi Kirana. Ia kembali mendapatkan hantaman menyakitkan.
"Bagaimana mungkin?" bisik Kirana pelan. Kali ini Kirana tak mampu lagi menyembunyikan getaran dalam suaranya. Matanya perlahan memburam meskipun ia harap cairan yang mewakili sakit hatinya tak menuruni pipinya.
"Apanya yang bagaimana mungkin, Na? Om Rendra memang bukan anak kakek. Kamu lupa atau gimana?" Karina seolah gemas dengan sikap adiknya yang terlalu mendramatisir keadaan.
Gelengan pelan ia berikan. Ia kembali mengarahkan pandangan pada pria di sampingnya. Mencoba mengharapkan sesuatu akan keluar dari mulut pria itu. Tapi nihil. Pria itu seolah patung yang membisu. Kirana tak mampu menterjemahkan ekspresi wajah pria itu yang tak terbaca. Kemana sosok hangat dan lembut yang selama ini Kirana kenal? Sosok yang selama ini menjadi sandarannya, orang yang begitu memahaminya selain sang kakek? Sudah lenyapkah sosok itu?
"Om Rendra kan datang ke rumah kita saat berusia lima belas tahun. Kamu lupa?" Karina akhirnya menjelaskan meskipun enggan.
Namun, gelengan kembali Kirana berikan. Ia sama sekali tak tahu hal itu. Jika saat itu Narendra berusia lima belas tahun, berarti dirinya baru berusia tiga tahun. Apa yang bisa dipahami oleh anak sekecil itu? Hal berbeda mungkin Karina rasakan. Kakaknya itu pasti sudah paham dengan posisi Narendra karena usia Karina yang lebih tua enam tahun dari Kirana. Lagi pula, selama ini tak ada yang mengatakan jika sang paman bukanlah anak kandung sang kakek. Tidak ada orang yang membahas hal itu. Ataukah ada yang terlewat dari ingatannya? Atau mungkin, dirinya yang terlalu bodoh dan tak menyadari hal itu?
Tapi satu yang Kirana pahami. Ia benar-benar merasa dikhianati. Selama ini ia diam-diam mengubur perasaan terlarang itu. Hanya mengagumi tanpa berani berharap memiliki. Kini, setelah fakta itu terbuka di depan matanya, justru harapan untuk memiliki pria itu lenyap seketika.
"Kenapa Kakek nggak bilang kalau Om Rendra tidak bersaudara kandung dengan ayah?" tanya Kirana dengan nada menuduh. Lalu beralih pada sang paman di sebelahnya. "Om Rendra juga gitu. Aku benar-benar jadi yang paling bodoh di sini." Kirana tertawa hambar. Ia tak peduli pada apa yang ketiga orang di sekelilingnya itu pikirkan.
"Maafin, Om, Na." Hanya itu yang sang paman ucapkan. Sekilas Kirana melihat sorot sendu pada tatapan pria itu sebelum akhirnya Kirana mengalihkan pandangan pada sang kakak yang sudah kembali berbicara.
"Mau Om Rendra saudara kandung ayah atau nggak kan sama aja, Na. Dia tetap keluarga kita. Kok diambil pusing sih. Kamu kayak habis kena gempa aja ngomongnya sampai segitunya. Sampai mau nangis seperti itu," jawab Karina tak acuh.
Embusan napas berat terdengar dari sang kakek. Kali ini pria tua itu membuka mulutnya, "Maafkan kakek, Na. Kami pikir hal itu tidak begitu penting. Bagi kakek, Om kamu adalah anak kakek. Tak ada bedanya dengan ayah kamu. Kakek menyayangi mereka berdua. Begitu juga ayah kamu. Dia sudah menganggap om kamu sebagai saudara kandungnya. Makanya kami tak pernah membahas hal ini. Karina tahu karena saat itu dia sudah cukup besar dan paham siapa om kamu di keluarga kita. Tidak hanya Karina, semua orang juga tahu, termasuk para pekerja kita. Kami salah karena sudah melewatkan hal yang seharusnya kamu tahu. Setidaknya dengan pernikahan ini, om kamu akan semakin dekat dengan keluarga kita. Hal yang tidak akan kita dapat jika om kamu menikah dengan orang lain."
Kirana menarik napas berat. Mencoba mengusir sesak yang semakin mendera dadanya. Ini semua begitu tak masuk akal. Otak dan hatinya masih enggan untuk menerima semua penjelasan. Pantas saja jarak usia ayahnya dan Narendra begitu jauh. Ternyata mereka tidak bersaudara. Benar-benar menggelikan. Dan selama bertahun-tahun ia begitu bodoh tak menyadari hal itu.
"Lalu kenapa semuanya begitu tiba-tiba? Jika Karina menikah dengan orang lain, wajar hal ini tidak aku ketahui. Tapi ini. Kalian bertiga adalah keluargaku. Kita berempat hanya saling memiliki satu sama lain. Kenapa aku tak tahu apapun?"
"Karena semuanya juga begitu tiba-tiba dan mau tak mau keputusan ini harus dibuat," jawab sang kakek.
"Aku masih merasa kalian semua mengkhianatiku," ucap Kirana dingin. Sungguh apapun itu tak seharusnya hal besar seperti ini tak mereka bagi kepadanya. Apalagi satu bulan lalu Narendra juga mengunjunginya. Pria itu ingin memastikan semua hal berjalan dengan baik sebelum proses wisuda Kirana. Mereka mendatangi beberapa butik untuk memesan kebaya yang akan dipakai saat Kirana wisuda. Termasuk memesan jasa mekap dan foto. Tak ketinggalan juga menambah jumlah undangan untuk masuk ke auditorium tempat dilaksanakan prosesi wisuda karena undangan hanya berlaku untuk dua orang. Sedangkan jumlah mereka ada tiga.
Apakah selama itu Narendra tak berkeinginan mengatakan rencananya yang akan menikahi Karina? Apakah Kirana tidak layak untuk tahu? Apakah Kirana tak cukup berharga untuk menerima kabar itu terlebih dahulu?
Wisesa mengembuskan napas lelah. Setelah terdiam cukup lama dan tak ada seorang pun ingin berbicara. Pria itu akhirnya kembali membuka mulut. "Maafkan kakek, Na. Apa kamu tahu kenapa pernikahan ini terkesan tiba-tiba?" Pandangan Wisesa terlihat sendu. Hal yang seketika membuat Kirana menyesal telah berkata kasar kepada pria kesayangannya itu.
"Kenapa pernikahan ini terkesan begitu tiba-tiba, hal itu karena kakak kamu saat ini sedang berbadan dua. Karina saat ini sedang mengandung dan mereka harus segera menikah sebelum perut Karina semakin membesar dan semua orang tahu jika kakakmu itu sedang hamil. Itulah alasannya kenapa semua ini terkesan terburu-buru." Wisesa menunjuk Karina yang membisu di sofa lalu beralih pada Narendra di sebelah Kirana.
Seketika saja kalimat kakeknya itu membuat dunia Kirana gelap. Karina hamil! Kakaknya hamil? Dan pria itu adalah Narendra?
Brengsek!
Benar-benar brengsek!
Mereka berdua benar-benar menjijikkan!
###
Nia Andhika
30 Juli 2022Hayoloh..... Gerakkan jempol kalian. 😆😆😆😆😆
Udah jelas kan kenapa begini, kenapa begitu? Ataukah masih abu-abu?
Yuk, tulis komentar teman-teman biar rame.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riverside
RomancePulang. Kembali ke kampung halaman yang telah ia tinggalkan enam tahun yang lalu adalah hal terberat yang harus Kirana lakukan. Ingatan masa lalu yang masih tak lekang oleh waktu membuat rasa itu kembali menyapa. Pelan. Namun, menyakitkan. Permintaa...