———Alunan instrumen Piano Sonata 12 oleh komposer WA Mozart menemani gerak tubuh sang penari. Plier—étendre—relever[1], hingga putaran fouettés[2] yang diperlihatkan mampu beraksi mulus tanpa cela. Decak kagum penonton mengudara, menambah permadani megahnya pertunjukan. Sarla, satu dari ribuan penikmat yang sejak awal menyisik dinamika indah melalui lensa kameranya, tak henti menumpahkan segala kagum yang terpampang di atas panggung.
"Kak Kia... keren," ikrarnya berdeging sungguh-sungguh. Sarla semakin menabur takjub begitu Kia berhasil menutup penampilan bersama pose reverence[3], yang menjadi penyempurna gestur baletnya. "Kak Kia selaluuu keren!" ulangnya, mengukir sumringah. Bibirnya membentuk lengkung sempurna, memandang postur anggun berbalut leotard[4] di tubuh sang kakak.
Festival Remaja Unggul atau kerap disingkat FRU, menjadi satu dari sekian banyak kebanggaan Sarla terhadap segala kesuksesan Diandra Sakia. FRU merupakan ajang bergengsi yang rutin diselenggarakan secara tahunan. Dibagi menjadi tiga kategori utama pertunjukan yakni musik, tari dan teater, penyelenggaraan tersebut dikhususkan untuk para pelajar tingkat SD, SMP hingga SMA se-Indonesia yang sebelumnya telah memenangkan kompetisi non akademik berskala nasional.
Tahun ini, panita FRU telah menetapkan tiga puluh murid berbakat untuk membawa penampilannya di atas panggung, unjuk kebolehan kepada seantero petinggi, publik figur, serta manusia awam yang datang melalui undangan maupun tiket pertunjukan. Masing-masing kategori telah dipegang oleh sepuluh peserta, dengan Kia yang menjadi perwakilan tunggal Bakti Nusa di tahun ini. Mengisi kelompok tari, khususnya balet.
Beruntung, keahlian konfrontasi Kia terhadap Bu Asri yang turut mengemban tugas sebagai Pembina Ekstrakulikuler, mampu menarik Sarla menjadi bagian dari penikmat pertunjukan. DSLR hitam adalah alasan terkuat sang kakak agar dirinya mendapatkan surat dispensasi sekolah hari ini.
Daripada mengandalkan club Jurnalistik yang sudah sering absen pelajaran untuk mengikuti kegiatan sejenis, Sarla lebih pantas dilibatkan untuk memotret momen festival karena kehadirannya di sekolah masih mencecap nilai sempurna. Begitu isi percakapan Kia kemarin. Kalimat akhir yang berhasil menggerakkan anggukan kepala Bu Asri.
"Kia memang selalu keren."
Berselang beberapa waktu usai ungkapan kagum Sarla sebelumnya, diktum rendah dari arah samping mengharuskan pandangannya bergulir pesat. Mata bundarnya mengerjap, heran saat mendapati figur tegap tahu-tahu mengisi kekosongan bangku sebelah kanannya. Kepalanya lantas celingak-celinguk, menyisir sekitar yang masih dipenuhi lautan manusia. "Kok di sini?" Sarla mencicit, memaku fokusnya kembali. "M-maksud aku... tempat itu tadinya kosong. Kenapa bisa ada Kak Dirga?"
"Jadi, lo bolos sekolah seharian, cuma buat nonton festival ini?"
Sarla membelalak. Tangannya secara bebas terangkat guna menepis tebakan lawannya. "Ini," Semakin leluasa, DSLR dalam genggaman ia pamerkan, tampak menyerupai benda raksasa jika disandingkan dengan jemari mungil Sarla. "Aku ditunjuk untuk mengambil foto di FRU, Kak. Terutama fotonya Kak Kia. Ada surat dispensasi resmi juga, nggak bolos, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lingkar Belenggu
RandomJika diibaratkan dengan sebuah benda, Sarla Anjani meyakini dirinya adalah sebuah perangko untuk Dirga. Saat di sekolah, Sarla selalu menempel pada Dirga, bukan menempel dalam artian sebenarnya, namun menempel dari jarak jauh, secara sembunyi dan ha...