Jika diibaratkan dengan sebuah benda, Sarla Anjani meyakini dirinya adalah sebuah perangko untuk Dirga. Saat di sekolah, Sarla selalu menempel pada Dirga, bukan menempel dalam artian sebenarnya, namun menempel dari jarak jauh, secara sembunyi dan ha...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
———
Buku-buku yang semula berserakan di atas meja telah disusun teratur. Sarla merenggangkan jemari sembari bersandar pada badan kursi. Jam kamar menunjukkan pukul sebelas malam saat dirinya baru saja menuntaskan soal terakhir buku paket Matematika dengan label nama Dirgantara Algani. Kali ini, ada lima soal yang Dirga beri dan berhasil ia kerjakan.
Senyum gadis itu mengembang, meski pandangannya menerawang, memilah ingatan kejadian yang menyebabkan dirinya masih betah terjaga.
Jika biasanya tidur merupakan tujuan akhir Sarla usai menyelesaikan tugas dan membaca ulang materi pelajarannya, kini hal itu tak lagi berlaku. Durasi kerja Sarla di waktu malam sudah bertambah. Berkat hadirnya permintaan baru selepas pertolongan yang ia lakukan pada soal Matematika Dirga satu bulan lalu.
Ya, tepat satu bulan lalu. Di hari itu. Hari dimana sebuah tanya 'kenapa' yang Sarla ajukan lenyap tanpa penjelasan.
"Lo mau bantu gue lagi nggak?"
Saat itu, ditemani deru hujan yang masih gencar mengelilingi sekitar teras minimarket, Dirga tiba-tiba saja merespons setelah memberinya keheningan cukup lama. Konteks pertanyaan tersebut tentu berbeda jauh dari topik utama. Sarla hanya mengerutkan dahi dalam-dalam sebagai tanggapan.
"Tugas Matematika gue nggak cuma tiga soal yang tadi lo lihat, sih. Di buku paket juga ada." Dirga menjeda ucapan, seringainya masih bertengger rapi.
"Lo mau sekalian bantu kerjain tugas Matematika di buku paket gue juga?"
Sesuatu yang tak mampu dicegah. Permintaan bernada kelewat santai itu secara magis mendorong kepala Sarla mengangguk antusias. Senyumnya merekah, sementara Dirga mendengkus diam-diam. Persetujuan yang diterima menjadi penutup obrolan keduanya, sebab Dirga telah kembali menekuni luka di lutut Sarla.
Tidak sampai di sana, permintaan tersebut berlanjut. Hadirnya nilai 90 pada tugas Matematika Dirga semakin membuat laki-laki itu melimpahkan tanggung jawabnya sebagai siswa kepada Sarla. Bukan hanya Matematika, beberapa catatan pelajaran non eksak turut disodorkan Dirga. Rutin dan bertahan hingga sekarang.
"Gimana? Tugas Matematika gue udah lo bikin?"
Sarla tersentak. Matanya mengerjap. Buru-buru menyadarkan diri bahwa seseorang tengah berbicara padanya lewat sambungan telepon. "I-iya?" Masih gelagapan, layar ponsel yang sempat melekat di telinga ia jauhkan sebentar.
"Iya, Kak Dirga?" Sarla mengulangi, kembali menempelkan benda pipih tersebut setelah memastikan identitas si penelepon. "Ada apa, Kak?"