Prologue

178 77 263
                                    

———

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

———

Perlahan namun pasti, Sarla mengendap di antara pepohonan rimbun yang menghiasi taman belakang sekolah. Kembali lagi, gadis berkuncir kuda itu melakukan rutinitasnya setelah bel istirahat berbunyi; menguntit sang objek nan jauh di depan sana, secara sembunyi, dengan kamera DSLR yang selalu menggantung di lehernya. Rumput dan tanah basah menjadi pijakan sol converse lusuhnya. Namun hal terlampau kecil itu tak mampu membuat Sarla Anjani mundur begitu saja.

Tentu, otak dan pikirannya sudah tertanam matang demi seseorang yang telah menjadi objek mata terbaik Sarla selama hampir dua tahun ini. Persetan dengan lembabnya injakan dan rerumputan yang menjalari kakinya. Fokus Sarla hanya bertumpuh penuh pada punggung proporsional seseorang yang kini membelakanginya.

Kali ini hanya perlu mengabadikan foto dia sedikiiit aja, Sarla mengangguk mahfum.

Dirinya lapar dan untuk sekarang, menikmati ciptaan terindah Tuhan sampai bel masuk berbunyi—seperti yang biasa ia lakukan—bukanlah waktu yang pas. Cukup foto, lalu Sarla akan segera ke kantin untuk mengisi kekosongan perut yang sedari tadi meronta. Sarla berjanji.

"Jangan buat alasan yang bikin keadaan makin buruk, Kia."

Kia? Kedua alis Sarla berkerut samar. Dia ngobrol sama Kakak? Benaknya menambah tebakan. Heran menjadi kata pertama yang melintas ketika posisi Sarla telah berada di dekat sebuah pohon besar. Dapat dikatakan, area yang sekarang ia singgahi adalah tempat sembunyi andalannya. Tak jauh, namun pas untuk menjadi tameng bila Sarla tengah mengamati objek ciptaan-Nya yang terlampau istimewa tersebut.

Tak sesantai biasa, obrolan ini seakan menebar ganjalan tak kasat mata hingga terasa mengganggu telinga. Bahkan, selama hampir dua tahun Dirga dan Kia menjalin persahabatan sejak bersekolah di SMA Bakti Nusa, baru kali ini Sarla mendapati situasi aneh yang terbentang di antara keduanya.

"Dirga, gue—"

"Gue paham."

"Maaf, gue bener-bener minta maaf..."

Kenapa Kak Kia harus minta maaf? Sebuah tanya kembali tercetus di benaknya. Lagi-lagi menjadi sesuatu yang tak kunjung Sarla pahami. Tempat favorite Dirga semakin terasa berbeda di hari ini. Kata per kata yang menjamah indera pendengaran Sarla bahkan hanya memperparah bingungnya.

"Minta maaf?" Dirga melepas tawa. Sarla membeliak, mata bundarnya melebar saat sadar tawa tersebut berbalut getar pilu. 

Kak Dirga... lagi sedih, ya? Pahit menyelubungi senandika yang tercipta. Sarla temangu, kilasan kebiasaan sang objek memenuhi pikiran. Mempertontonkan bahwa spekulasinya mungkin mendapat hasil akurat.

"Dirga, tunggu!"

"A-aw!" Sarla mengaduh tiba-tiba.

Teriakan yang keluar dari mulut Kia membuatnya kaget hingga hilang keseimbangan. Sarla mematung dengan bokong yang menghantam lembabnya tanah. Jantungnya bertalu-talu bak paluan kaki kuda pada aspal jalanan, terasa cepat bukan main, hingga berlanjut ketika satu tangan terulur tepat di depan matanya.

Ragu rasanya, membuat Sarla ingin memiliki kinerja otak secepat hotspot berkoneksi super tinggi. Sehingga dirinya tak perlu berpikir lama terhadap reaksi yang hendak diberikan. Toh, tanpa bersusah payah mendongak, Sarla bahkan sudah hafal pemilik struktur tangan kokoh tersebut.

"Ng, ak—"

Terhentinya gumaman Sarla sejalan dengan tarikan paksa seseorang pada lengan kanannya. Sentuhan pertama yang telah berhasil memerintahkan aliran darahnya untuk berdesir aneh, pada rasa tak biasa yang baru saja Sarla alami, dengan meningkatnya produksi keringat dingin dan dentaman yang semakin menggila dalam dada.

"Lo... Sarla," Dirga menenggelamkan dua tangan di saku celana. Ekor elangnya melirik badge name pada bagian kanan kemeja gadis di hadapan. "Sarla Anjani?"

Sarla meneguk saliva, mengumpulkan pundi-pundi keberanian untuk bereaksi sedemikian normal pada objek yang berdiri nyata di depan mata. Satu anggukan pelan kemudian ia berikan secara susah payah. Lagi-lagi dengan membasahi tenggorokan. Tetap nggak normal, Sarla! batinnya menimpali, hembusan napasnya mengalir berat.

Lalu, tanpa pernah Sarla duga, rupa penuh pesona itu mendekatinya. Mempertipis jarak antar wajah, juga mempertajam aroma kopi yang selalu melekat di tubuh Dirga. Hembusan napas laki-laki itu pun tak luput membelai wajah Sarla, memicu gemetar hebat untuknya, seolah mampu merobohkan seluruh bagian tubuhnya saat itu juga.

"Jadi pacar gue mau?"

Tepat ketika bisikan super halus itu ia terima, Sarla tidak tahu, berapa banyak setan yang saat ini sedang mengelilinginya. Menggodanya untuk bertingkah tanpa tahu malu, serta memerintah otot lehernya untuk segera mengangguk tanpa kendala seperti ini.

Lantas, seringai yang terukir jelas di bibir simetris milik Dirga telah sukses memecah dengung di kepala Sarla. Mulutnya serta-merta terbuka, hendak berbicara dan meluruskan aksi yang sempat berada di luar kendali. Namun, hadirnya suara familiar yang berderu cepat membungkam mulut Sarla dalam sekejap. Niatnya tertunda.

"Dirga? Sarla?"

Itu Kia, kakaknya. Sarla mengernyitkan dahi ketika atmosfer tak nyaman ini kembali terjadi. Rona khawatir tergambar di wajah jelita sang kakak yang telah memotong jarak.

"Apa yang lo lakuin, Dirga?"

"Nggak ada," Dirga menjawab enteng, seolah hal itu tak membuatnya terbebani sama sekali. Sarla yakin, ajakan berpacaran yang dilayangakan Dirga padanya tidak sampai menyentuh gendang telinga sang kakak. Sekalipun posisi Kia saat ini berada di dekat mereka.

"Bohong," Kia mendesis. Tatapannya tertuju penuh antisipasi ke arah Dirga yang menatap balik matanya, lengkap bersama sorot tak terbaca. "Apa yang lo lakuin ke adik gue?"

"Lo terlalu khawatir," balas Dirga, diiringi dengan seringaian penuh ancaman saat pandangan bertanya terus dilayangkan Kia padanya.

Tangan kokoh Dirga mendadak terangkat di udara, pergerakannya berhenti pelan di pipi kanan Sarla, menabur sentuhan lembut di sana, seakan enggan merusak kulit pemiliknya. Ada sensasi bak dihantam sengatan listrik bertegangan tinggi begitu Sarla merasakan elusan di pipinya. Bertambah kuat pula volt yang ia terima saat gerakan tangan Dirga berpindah ke belakang daun telinga.

Semburat merah tercetak semakin jelas di kedua pipi putih Sarla. Dirga semakin mengikis jarak. "Pejemin mata lo," suaranya membentang penuh perintah. Meski demikian, nada rendah yang Dirga beri bagaikan alunan bass pengiring lagu kesukaan Sarla hingga menyapu kelopak matanya untuk tertutup sesuai instruksi.

Semakin Dirga berulah, Sarla sadar jantungnya berdentam hebat di dalam. Napasnya bahkan sempat tertahan selama sedetik di kondisi ini, saat sebuah benda kenyal secara asing mengenai pipi kanannya. Cukup lama, sampai teriakan sang kakak membuat Sarla refleks membuka mata.

Hadiah pemandangan terlampau mengejutkan menjadi panorama awal saat Sarla membiarkan matanya terbuka.

Tepat ketika ia sadar, bahwa saat ini, Dirga tengah mencium pipinya.

Men-ci-um?

"Gue bilang, stop, Dirga!"

Seruan Kia menjadi suara yang terakhir kali Sarla dengar di taman belakang tatkala gelap mulai menguasai pandangan.

______

Hi! Salam kenaal? Hehehe.

Aku Deerumni dan lagi nyoba bikin cerita di sini. Mohon saran dan kritik yang membangun yaaa. Kebetulan Lingkar Belenggu ini karya pertamaku, jadi vote dan komen kalian sangat-sangat aku tungguuuuu. Oh ya, kalian bisa panggil aku Deer! 😁❤️

Best regards,

Deerumni.

Lingkar BelengguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang