6. Pacaran, ya?

83 27 106
                                        

———

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

———

Tolol kuadrat. Dua kata paling layak untuk menggambarkan perilaku Sarla Anjani di benak Dirga hari ini. Rasa-rasanya seorang pelayan saja tidak ada yang sepatuh itu pada sang majikan. Melakukan sesuatu yang bukan tugasnya, secara sukarela pula.

Dirga mempercayai bahwa tubuh gadis itu dipenuhi roh nenek moyang semasa penjajahan dulu. Jiwa-jiwa pekerja rodi dan romusha. Alias kerja keras tanpa dibayar. Hasilnya pun mencengangkan. Tidak peduli serinci dan secepat apa jawaban yang Dirga beri, Sarla bisa-bisanya menyamakan laju tulisan tanpa mengeluh. Malah menghadirkan tepukan meriah Pak Cahyo yang terkesima.

Melesat jauh dari tujuan awal Dirga untuk membuat guru Sejarah itu mengibarkan bendera putih dan berhenti melayangkan ceramah padanya. Sialan, batinnya merutuk lagi. Sosok gadis lima belas tahun yang berlagak seperti malaikat tersebut membuatnya semakin muak saja. Sudah kesekian kalinya Sarla Anjani merusak rencana dan memicu kemarahan mengakar di diri Dirga.

"Oi!" Adim menepuk pundaknya. "Lo dipelototin Bu Mega, noh."

Dirga menoleh. Memamerkan raut datar yang mendatangkan desau gusar di mulut Adim. "Sejak masuk kelas tadi, lo ngelamun mulu," keluhnya. "Bikin posisi gue sebagai teman sebangku lo terancam aja."

"Dirga, Adim!"

"Noh, kan!" Adim menggeram.

Bu Mega, dengan postur subur melebihi Pak Cahyo, tengah mengayunkan spidol. Kacamata tebal yang senantiasa hinggap di cuping hidungnya menyorot dua murid tersebut. Tepat ke arah Dirga dan Adim yang menduduki bangku paling belakang, menempel di dinding kelas, sejajar pada letak jendela.

"Bisa terangkan kembali materi Limit Fungsi Aljabar yang Ibu tulis di sini?" Bu Mega mengetuk papan putih bertabur bilangan yang menutupi tembok. "Terutama kamu, Dirga," sambungnya. "Kamu sudah merasa pintar, kan? Sehingga tidak perlu repot-repot memperhatikan pelajaran Ibu. Jendela di sampingmu juga kayaknya sangat menarik, ya, karena mata kamu terus ke sana sejak Ibu masuk."

Dirga melirik Adim melalui ekor elangnya. Satu telunjuknya menggaruk ubun-ubun. Bingung menanggapi.

"Kalau Adim, bagaimana? Bisa menjelaskan? Ibu perhatikan, kamu lebih bahagia mengajak Dirga ngobrol, daripada fokus pada materi Ibu." Kini Bu Mega mematri tatapan buasnya pada Adim yang belingsatan di tempat. Inti hitam berlapis kaca bulat khas laki-laki itu balas mengerling pada Dirga. Meminta pertanggungjawaban.

"Kalian masih mau sibuk sendiri?" Perkataan Bu Mega naik satu oktaf. Mata monolid-nya mengecil dan menukik runcing. "Ibu dengan senang hati membukakan pintu keluar jika kalian masih merasa sibuk."

Lingkar BelengguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang