꒰ stereotype 🦋꒱

9.8K 318 57
                                    


❨ ali <3 raib ❩


Masih pukul enam pagi, tapi Raib sudah berada di dalam kelas. Melamun menatap air hujan yang menetes. Raib selalu suka hujan, kalau kalian lupa.

Sekolah masih sepi. Raib di kelas sendirian. Tadinya dia mau membaca novel, bahkan dia sudah memegang novel tersebut. Namun hujan mengalihkan perhatiannya.

"Selamat pagi, Ra!" sapa seseorang.

Raib menoleh, menatap wajah segar Ali. Entah segar karena dia benar-benar mandi, atau karena dia terkena air hujan.

"Sombong banget," Ali mendengus.

"Selamat pagi juga, Ali," sahut Raib cepat, dia malas berdebat dengan si biang kerok ini. Pandangannya kembali pada air hujan yang menetes.

Sampai beberapa saat, hanya ada keheningan. Raib sibuk memperhatikan air hujan, Ali--

"Berbeda sekali."

Eh? Raib menatap Ali yang duduk di tempat Seli. Si biang kerok ini, alih-alih duduk di tempatnya dan tidur, dia malah duduk di sebelah Raib sambil memperhatikannya.

Raib mengerutkan kening, "Apanya yang berbeda?"

"Kamu."

"Aku?" Raib menunjuk dirinya sendiri.

Ali mengangguk.

"Apanya yang berbeda?" Raib meminta penjelasan. Dia merasa tidak melakukan apapun yang berbeda dari hari sebelumnya.

"Eh, maksudku bukan kamu," Ali menggaruk rambut kusutnya, "Tapi pandanganku terhadapmu."

Raib menatap Ali, masih meminta penjelasan.

"Begini... dulu, saat awal masuk sekolah, kupikir kamu adalah anak yang centil, pecicilan, banyak gaya, seperti itulah. Tapi setelah sering memperhatikanmu, ternyata aku salah besar," Ali menjawab sambil meregangkan tubuhnya--agar tidak terlihat gugup.

"Kenapa kamu berpikiran aku seperti itu?"

"Karena kamu berteman dengan cewek-cewek itu, Ra. Mereka teman SMP-mu bukan?"

Raib menatap langit-langit kelas, dia sedang mengingat momen saat pertama kali masuk SMA.

Ah, benar. Dia sering bersama cewek norak yang sekarang malah jadi penggemar Ali. Beberapa dari mereka adalah teman SMP Raib.

"Benar. Mereka teman SMP-ku, Ali."

"Lalu, kenapa kamu memilih untuk berteman dengan Seli?"

Raib mengangkat bahunya, "Kami--maksudnya aku dan cewek norak itu-- berbeda kelas, Ali. Mereka dapat kelas IPS. Lagipula, Seli jauh lebih baik daripada mereka."

"Kalau aku?"

"Kamu juga lebih baik daripada mereka, Ali."

"Kenapa?" Ali tidak bisa berusaha menahan senyumnya mati-matian.

"Eh?" Wajah Raib sedikit memerah, "Karena kamu teman terbaik di seluruh galaksi bima sakti..."

Kali ini, pertahanan Ali runtuh. Dia tersenyum lebar, tapi malah menjadi seringaian menyebalkan di mata Raib. Wajah Raib batal memerah.

"Kalau aku dengan Seli? Apa aku lebih baik darinya?"

Raib mendengus, "Kenapa kamu membandingkan dirimu sendiri dengan orang lain seperti itu?"

"Jujur saja, kamu tidak bisa menjawabnya kan, Ra?" Ali tersenyum jahil.

Raib mendengus, "Kamu sendiri? Siapa yang lebih baik antara aku dan Seli?"

"Seli."

Raib terdiam, mengembuskan nafas kecil seraya kembali menatap air hujan.

"Tersingkir," ujar Ali dengan nada seperti pembawa acara ajang menyanyi. "Kamu lebih baik. Tapi bukannya aku pilih kasih. Aku tahu Seli sangat perhatian padaku dan dia sangat tulus. Tapi kamu lebih baik karena kamu adalah pemimpin kami, Ra. Kamu selalu ada--atau selalu menginspirasiku setiap kali otakku buntu."

Raib tetap diam, tapi jantungnya tidak. Sungguh. Kalau jantung punya pengeras suara, mungkin pagi itu dunia sedang berdisko karena suara detak jantung Raib yang berpacu cepat.

"Tapi akan lebih baik lagi kalau kamu jadi milikku..."

━━━━━━━━━━━━━━━

haihaihaii akhirnya setelah berpikir panjaaaaaang aku bikin book ini hehe. enjoy yaa! <3

bumi series | oneshot [2] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang