꒰ kotak hitam ꒱

3.1K 194 8
                                    



Raib terluka parah. Sementara robot di depannya sudah berhenti beroperasi, lantas lantai merekah, menarik robot-robot tersebut kembali ke dalamnya.

Seli berteriak, melihat darah yang keluar dari hidung Raib, juga wajah lebam sahabatnya. Dia segera memangku wajah sahabatnya, mengusap pipi Raib.

"Hei, drone jelek! Kau seharusnya segera mematikan dua robot sialan itu saat mereka memukul telak Raib!" wajah Ali memerah karena marah. Tangannya yang berbulu tebal bergetar penuh emosi.

"Itu sudah kebijakan di ABTT. Kalian baru bisa keluar jika--"

"PERSETAN DENGAN KEBIJAKAN SIALAN ITU! DASAR TIDAK PUNYA HATI!" Ali masih bersungut-sungut, mencoba melempar sesuatu kepada D-100.

Drone kecil itu sudah beroperasi sejak Selena, Mata, dan Tazk kuliah di ABTT. Bahkan dia sempat menyinggung betapa miripnya Raib dan Mata di pertemuan pertama mereka.

"Ali, daripada marah-marah terus, lebih baik kita membawa Raib ke klinik," Seli berseru. Dia hendak menggendong Raib, tapi kesusahan.

"Aku baik-baik saja, Seli..." ujar Raib lirih. Tangannya mengeluarkan cahaya redup.

"Apanya yang baik-baik saja? Bahkan kamu tidak punya tenaga untuk menyembuhkan dirimu sendiri!" Seli menatap Raib dalam pangkuannya.

Ali segera mengarahkan pandangannya kepada Sang Putri, berjalan mendekat dan mengangkat tubuh Raib seolah dia sedang mengangkat sebuah guling.

Saat itu, Seli sungguh tidak kepikiran untuk menggunakan kekuatan kinetiknya.

"Meskipun banyak makan, tubuhmu tetap saja ringan," Ali berujar.

Lorong masih sepi, tampaknya mahasiswa lain masih berada dalam kelas bertarung.

"Turunkan aku, Ali," Raib meminta.

"Ide buruk dari Sang Putri. Terakhir kali aku menurunkanmu dalam gendonganku, Master B selalu melotot saat memergokiku sedang menatapmu," Ali mengeluh. Dia teringat petualangan terakhir mereka sebelum masuk ABTT.

Raib tertawa kecil, memposisikan dirinya dengan nyaman dalam gendongan Ali.

"Seli, apakah dia baik-baik saja? Tadi robot itu menghantamnya juga..."

"Seli? Dia baik-baik saja, sempat menghindar sebelum robot sialan itu memukulnya. Sekarang sedang menahan tangis melihatmu tidak berdaya seperti ini," Ali nyengir.

"Enak saja!" Seli memelotot, "Aku menangis karena kalian terlihat bahagia dalam pelukan satu sama lain, sementara aku dan Ily terpisah jauh..."

"Tidak jauh sih. Cukup tiga lompatan dengan kapsul terbang ILY, kamu bisa bertemu Ily yang asli," Ali mengangkat bahu tidak peduli, "Lagipula Ily belum tentu menyukaimu juga, Seli."

Raib menyikut perut Ali dengan lemah. Ali tidak merasakan apapun.

"Dasar biang kerok! Memangnya Raib balas menyukaimu?" Seli tidak terima.

"Tentu. Tidak perlu pengakuan langsung dari mulutnya, melihat perlakuannya padaku saja sudah terlihat jelas kalau dia balas menyukaiku," Ali membusungkan dadanya, sombong.

Mereka sudah sampai di dalam klinik. Ali meletakkan Raib di kasur, kemudian membiarkan belalai-belalai robot menyembuhkan sahabatnya.

"Apa sakit sekali, Ra?" Seli melihat belalai robot tersebut menyembuhkan luka lebam Raib.

Raib menggeleng kecil.

Sepuluh menit kemudian, dia sudah pulih. Bahkan dia bisa melakukan yoga seadanya untuk meregangkan otot. Mata Ali terbuka lebar, dia menyarankan agar Raib lebih baik melakukan yoga sendirian di kamarnya saja.

"Dasar cowok!" Seli mengejek.

"Apa hubungannya?"

"Kamu tidak mau melihat Raib melakukan yoga karena takut salah tingkah, kan? Atau malah salah lihat?"

Ali mengangkat bahu, berjalan melewati Seli yang masih terkekeh.

"Hei, aku baru tahu kalau rambutku sudah terlalu panjang. Ini sudah sampai pinggul. Aku harus memotongnya," ujar Raib.

"Aku bisa membantumu," Seli berjalan riang menuju Raib, menggenggam tangan sahabatnya, "Aku sering memotong rambutku sendiri. Tidak suka rambut panjang. Bukankah itu membuatmu gerah, Raib?"

"Yeah, terkadang. Tapi aku bisa menguncirnya. Lagian rambut panjang ini mengingatkanku pada Ibuku, Seli..."

Seli manggut-manggut, "Eh, bagaimana dengan pita rambut yang tiba-tiba ada di depan kamar kita itu, Ra? Kamu sudah tahu siapa yang memberimu pita itu?"

Raib menggeleng, "Pita itu berwarna biru, warna kesukaanku."

"Benarkah? Biru adalah warna kesukaanmu, Ra?" Seli bertanya penasaran.

"Iya," Raib mengangguk, tersenyum lebar, "Dan sebelumnya, hanya ada satu orang yang tahu apa warna kesukaanku."

"Oh ya? Siapa?" tanya Seli riang.

Raib tidak menjawab. Dia menoleh ke belakang.

Seketika mata Raib dan Ali bertemu. Wajah keduanya memerah. Pita itu dari Ali.


━━━━━━━━━━━━━━━

bumi series | oneshot [2] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang