Tiga tahun bersahabat, rasanya Seli merasa lebih dekat dengan Raib daripada Raib dekat dengan Ali. Pun sebaliknya, dia merasa lebih dekat dengan Ali daripada Ali dekat dengan Raib. Seli berani bertaruh, bila kedua sahabatnya itu bertemu tanpa ada Seli, suasana pasti canggung diantara mereka.
Ingat saat Seli mengatakan bahwa dia melatih petir birunya di atap sebuah gedung? Dia melakukannya diam-diam dengan Ali, tanpa Raib.
Juga saat mengerjakan tugas Bahasa Indonesia di rumah Raib. Ali tidak pernah diajak. Seli hanya berdua dengan Raib.
Tapi, apakah pernah Raib melakukan sesuatu berdua dengan Ali? Menurut Seli sih, tidak pernah.
"Seli!"
Eh? Seli mengerjap, menatap Ali di depannya. "Ada apa?"
Ali menggeleng, "Kenapa Raib belum datang? Bel sudah mau berbunyi. Kalau aku yang datang terlambat, dia pasti marah-marah."
Seli masih menatap Ali yang duduk di bangku depan Seli. Teman yang duduk di bangku itu juga belum datang.
"Eh, Sel, kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kebiasaan Raib menular padamu?"
Aduh. Mendadak wajah Seli memanas. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Bel pun berbunyi, Ali bergegas bangkit, sekali lagi mengecek pintu kelas, "Kenapa Raib belum datang, sih?"
Pada saat itu juga, gadis yang daritadi dicari oleh Ali memunculkan diri. Rambut panjangnya berantakan, nafasnya tersengal.
"Raib! Kamu terlambat!" Ali berseru.
"Aku tahu. Kembali ke tempat dudukmu sana!"
Eh? Ali menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dia kan hanya mengingatkan Raib. Kenapa gadis itu malah marah?
Seli cekikikan melihat Ali yang kembali ke tempat duduknya sambil cemberut.
"Aku hampir terlambat, Sel," Raib mengeluh sambil mulai mengeluarkan bukunya.
"Iya, aku tahu. Sudah diingatkan Ali."
Raib cemberut.
Pelajaran biologi pagi itu berjalan agak lancar. Ali tidak membuat masalah, Raib juga tampaknya menikmati pelajaran tersebut. Yang menjadikannya 'agak' tidak lancar adalah, Seli yang merasa tidak nyaman ketika melihat Ali terus menatap Raib dari bangkunya.
Itu hal biasa. Disetiap petualangan juga seperti itu. Malah, dengan senang hati Seli menggoda mereka.
Tapi tidak lagi sampai beberapa waktu lalu, ketika Ali sendiri datang ke jendela kamar Seli, memberinya jam tangan dari Klan Bulan.
Sejak saat itu, Seli selalu memerah setiap kali bicara dengan Ali. Dan saat sahabatnya itu mencoba mendekati Raib, Seli merasa tidak nyaman.
"Pulang sekolah nanti, kalian mau langsung pulang?" Ali tiba-tiba bertanya. Ini jam istirahat. Kantin ramai dengan celotehan para siswa.
Raib mengangguk, menoleh pada Seli, "Langsung pulang kan, Sel?"
"Eh, iya. Langsung pulang."
Satu hal yang membuat Seli kesusahan menjawab pertanyaan Ali barusan, karena biasanya Ali memilih untuk duduk di depan Raib, kali ini dia memilih untuk duduk di depan Seli.
"Tumben kamu tidak menghabiskan baksomu, Ra?" Ali menatap Raib.
"Aku sedang ingin makan sushi. Kalau kamu mau baksoku, ambil saja."
Ali nyengir, hampir mengambil mamgkok bakso Raib, tapi batal. "Kamu ingin makan sushi, Ra?"
Raib mengangguk.
Sekarang, Ali malah ikutan mendorong mangkok baksonya, kemudian meneguk jus jeruk.
"Tidak kamu habiskan, Ali?" Seli bertanya.
Ali menggeleng, "Aku ingin makan ramen."
Baiklah. Seli menghabiskan mangkok baksonya sambil menahan ingus karena kepedesan.
Sepulang sekolah, hujan deras masih belum selesai. Di dalam angkot, Raib, Seli, dan Ali menatap jalanan dengan malas.
Sekali lagi, Seli tersenyum bahagia. Biasanya Raib duduk di tengah, sekarang dia yang duduk di tengah. Beberapa kali lengannya bersentuhan dengan siku Ali.
"Aduh! Sialan!" Tiba-tiba supir angkot mengeluh. Angkotnya berhenti di pinggir jalan.
"Kenapa, Mang?" salah satu penumpang bertanya.
"Mogok!"
"Yaah, mogok," Raib menatap Seli, dia tampak kesal.
Beberapa penumpang turun di tengah hujan, sementara supir angkot sedang memperbaiki mesin angkotnya.
"Ayo kita turun," ajak Ali.
"Heh? Ini hujan deras, Ali!" Raib melotot.
"Bukannya kamu suka hujan, Putri Raib?"
Eh? Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman hadir dalam hati Seli. Dia terdiam.
Sementara penumpang lain--beberapa memang dari sekolah mereka--saling berbisik ketika mendengar Ali memanggil Raib dengan sebutan Putri.
Baiklah, akhirnya mereka bertiga turun.
"Kamu tahu apa yang kupikirkan, Raib?" Ali menyeringai di tengah hujan.
Raib tertawa kecil, mengangguk, "Ayo. Kita pergi ke tempat sepi dulu!"
"Kita mau apa?" Seli akhirnya bertanya.
"Teleportasi, Seli!" jawab Ali.
Raib tertawa riang, dia senang bermain hujan-hujanan. Kemudian dia menarik tangan Ali dan Seli, menuju sebuah halte di seberang jalan. Tidak ada yang berteduh dalam halte tersebut.
Ali dan Raib tertawa, kemudian saling tatap.
"Rambutmu basah," Ali melemparkan ucapan bodoh, sambil mengusap ujung kepala Raib yang basah.
"Aku tahu," Raib tertawa. "Nah, sekarang, ayo kita pulang!"
Tiga kali teleportasi, mereka telah sampai di rumah Seli. Rumahnya-lah yang paling dekat dengan sekolah.
"Sel, aku mau tanya," Ali berkata sebelum Seli masuk ke dalam rumah.
"Eh, apa, Ali?"
"Kenapa dari tadi kamu diam saja? Tidak seperti Seli yang kukenal."
Wajah Seli mendadak merah lagi. Jadi, dari tadi Ali memperhatikannya?
"Tidak apa-apa, aku hanya lelah."
"Baiklah, selamat beristirahat, Sel!" Raib tersenyum, kembali meraih tangan Ali dan melakukan teleportasi.
Namun, sebelum membuka pintu, Seli terdiam. Dia berbalik, menatap halaman rumahnya yang sekarang telah kosong.
Raib benar-benar akan mengantar Ali pulang, lalu dia pergi, kan?
━━━━━━━━━━━━━━━
maaf bgttt seliii 😭🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
bumi series | oneshot [2]
Fanfiction꒰ oneshot tentang kehidupan raib ali seli kalau lagi ga ada misi <3 ꒱ - sebagian besar karakter milik Tere Liye ©alisseuuu