Mata tersenyum puas menatap sepanci sup buatannya. Sup adalah makanan pertama yang berhasil dia masak di Klan Bumi. Dia sudah beberapa kali memasak sup, dan hasilnya selalu enak.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya.
"Aduh, Tazk. Jangan bikin kaget!" Mata terlonjak, kemudian tertawa kecil. "Kamu mau coba sup buatanku?"
"Ya. Sekalian makan saja, aku sudah lapar." Tazk menepuk-nepuk perutnya, "Tidak kusangka menjaga anak kecil adalah hal berat. Aku kelaparan. Apalagi Raib itu cerewet sekali, aduh, mengomeliku terus."
Mata tertawa. "Fisik Raib itu duplikatku, sifatnya duplikatmu, Tazk."
"PAPAAAAAA!!" Teriakan nyaring terdengar. Diikuti dengan suara hentakan kecil yang semakin dekat. "Tenapa Laib ditinggay?"
Gemasnya. Mata menggendong Raib. Balita berumur tiga tahun itu masih belum bisa bicara dengan fasih. Tazk sering mengejeknya karena belum bisa mengucapkan huruf 'R'.
"Ra mau makan? Disuapin Mama, ya?"
Raib menggeleng, cemberut. "Papa! Mau disuapin Papa!"
Aduh, Tazk menepuk dahi. Baru saja dia makan dengan tenang, ingin berduaan dengan Mata. Kenapa bocah satu ini mengganggu terus?
Menyadari perubahan ekspresi Tazk, Mata tersenyum kecil. "Raib makan disuapin Mama, ya? Papa sedang makan, tidak bisa menyuapi Ra..."
Raib hendak menangis, namun Mata segera melakukan teknik sugesti. Kupingnya pekak mendengar tangisan Raib terus.
Balita itu menurut. Makan disuapi Ibunya.
"Ngomong-ngomong, ini kan hari Minggu, apa kamu tidak ingin ke mall, Tazk? Di sana ada arena bermain, cocok untuk Raib."
Tazk mengangguk. "Boleh. Setelah makan kita bisa pergi."
Mata tersenyum senang, "Terima kasih, Tazk." Kemudian dia beralih menatap putrinya, "Raib mau jalan-jalan?"
"Mau! Mau! Mau!"
"Tapi Raib harus menghabiskan makanan. Kalau tidak habis, kita tidak jadi pergi."
"Iya, Mama!"
***
Mall penuh. Raib digendong oleh Tazk, dan tangan Tazk yang bebas menggenggam tangan Mata. Beberapa orang menoleh setiap kali mereka lewat.
Lagipula, siapa yang tidak akan tertarik? Lihatlah pasangan itu, super cantik dan super tampan. Apalagi anak mereka, super imut. Beberapa jepit di rambut Raib membuat balita itu semakin terlihat imut.
"Papa tuyun!" Raib meregangkan kakinya, ingin turun. Dia tidak mau digendong.
"Tapi Raib tidak boleh lari-lari, ya!" Tazk menoleh.
Raib mengangguk senang. Setelah turun dari gendongan Tazk, dia menunjuk sebuah café anak-anak. Café tersebut luas sekali, terdapat arena bermain di dalamnya.
"Raib ingin ke sana?" Mata bertanya.
Raib mengangguk.
Mereka bertiga pergi ke café tersebut. Setelah membeli tiga tiket, Raib diberi sebuah gelang untuk menandai lokasinya--karena area tersebut snagat luas. Jika Mata dan Tazk ingin mengetahui lokasi Raib, mereka tinggal menatap layar besar dan melihat nomor gelang Raib.
Tazk mengangguk-angguk. "Canggih juga ya."
"Raib, kamu boleh bermain sepuasmu. Mama dan Papa akan menunggu di sini, ya? Jangan nakal, jangan marah, jangan--"
"Mama! Pelosotaaaan!" Sebelum Mata sempat menyelesaikan kalimatnya, Raib sudah berlari kecil menuju perosotan.
Tazk terkekeh melihat cara Raib berlari yang menurutnya imut sekali. "Nah, sekarang tidak ada lagi serangga pengganggu."
Mata tersinggung, menyikut perut Tazk, "Kamu kenapa sih, Tazk? Dari beberapa waktu lalu kamu sering kesal ketika ada Raib."
"Karena ada Raib kamu jadi jarang berduaan denganku." Tazk mengangkat bahu.
"Dia anak kita!"
"Yeah, dan bisakah kita menitipkan Raib selama satu hari di rumah Selena? Aku capek..." Tazk mengeluh.
Mereka berdua memilih tempat duduk. Karena pengunjung sedang ramai, cukup susah mencari tempat duduk kosong. Untung saja mereka menemukan tempat yang strategis. Dari tempat mereka bisa melihat hampir seluruh arena bermain.
"Aku tidak mau, Tazk... Raib itu anak kita, tanggung jawab kita." Mata melotot sebal, "Lagian Raib itu imut, cantik, menurut pada kita, tidak bandel. Kenapa kamu selalu kesal kepadanya? Yang menyelamatkanku dari kematian juga Raib. Dia mengeluarkan teknik penyembuhan tingkat tinggi, bahkan sebelum dia bisa bicara."
Tazk mendengus, "Aku mengajakmu kemari bukan untuk bertengkar. Tapi untuk bersenang-senang."
Puh. Mata menghembuskan nafasnya, mengatur emosi.
Setelah emosi mereka reda, mereka kembali bercakap-cakap.
Mereka segera lupa dengan pertengkaran barusan, apalagi setelah camilan datang. Hampir satu jam mereka mengobrol, lupa pada Raib.
"Eh, aku mau mencari Raib dulu. Dia pasti haus," Mata bangkit. Menatap layar besar.
Tapi, tunggu. Dia tidak menemukan nomor gelang Raib. Bahkan setelah lima menit memeriksa.
Tazk bergabung karena Mata tidak kunjung kembali. "Ada apa?"
"Raib... Aku tidak bisa menemukan nomornya. Bantu aku, Tazk."
Pasangan itu memperhatikan layar besar. Lima menit, mereka tidak menemukan Raib.
"Anakku... Anakku hilang! Tolong!" Mata berlari, meminta tolong pada beberapa pegawai.
"Kenapa gelang anak kami tidak terdeteksi?" Tazk memelotot, wajahnya marah.
Seorang petugas bertanya nomor gelang Raib, kemudian memeriksanya di komputer.
"Eh... Di sini tertulis 'lokasi tidak terjangkau' kemungkinan besar anak Ibu keluar dari--"
Pegawai itu belum menyelesaikan kalimatnya ketika Tazk segera berlari ke luar café, mencari anaknya.
━━━━━━━━━━━━━━━
KAMU SEDANG MEMBACA
bumi series | oneshot [2]
Fanfiction꒰ oneshot tentang kehidupan raib ali seli kalau lagi ga ada misi <3 ꒱ - sebagian besar karakter milik Tere Liye ©alisseuuu