tragedi di kantin

46 8 0
                                    


Kringggg... Suara bel sekolah menggema, menandakan waktu pulang telah tiba. Seperti biasa, Aletta berjalan melewati koridor sekolah dengan langkah tenang. Pandangan sinis dari teman-teman sekelasnya mengikutinya, tapi Aletta memilih untuk tidak peduli. Setiap hari, tatapan seperti itu sudah menjadi bagian dari rutinitasnya. Tidak ada yang menyapa, tidak ada yang mencoba berbicara dengannya. Mereka lebih suka memperhatikan dari kejauhan, dengan bisikan dan tatapan merendahkan.

Di gerbang sekolah, Pak Manto sudah menunggu di samping mobil, seperti biasanya. Aletta melangkah mendekat dan langsung meminta agar lain kali Pak Manto menunggunya di dalam mobil saja. Pak Manto hanya mengangguk dengan sopan, membiarkan Aletta masuk sebelum menutup pintu dengan hati-hati.

---

Di dalam mobil, Aletta berbicara pelan kepada Pak Manto, memintanya untuk tidak menunggunya di luar gerbang lagi. "Aku nggak mau jadi pusat perhatian di sekolah," katanya dengan nada penuh kekhawatiran. Pak Manto, dengan penuh pengertian, menganggukkan kepala. "Siap, non," jawabnya, sambil tersenyum dan memberi isyarat jempol.

Setelah sampai di rumah, Aletta segera menuju kamarnya. Dia melepas make-up yang sejak pagi menempel di wajahnya. Pikirannya melayang, memikirkan betapa dia merasa terasing di sekolah. Bukan karena dia tidak berusaha berbaur, tapi karena semua orang tampak menganggapnya berbeda.

Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Bi Inah, pembantu rumah tangga yang setia, masuk sambil membawa nampan makan siang. "Non Aletta udah cantik, kok malah di-make up jadi jelek," celetuk Bi Inah sambil meletakkan nampan di meja. Aletta hanya tersenyum kecil dan menjelaskan bahwa dia tidak ingin terlihat mencolok di depan teman-temannya. "Letta pengen punya teman yang tulus, Bi," ucapnya lirih. Bi Inah mengangguk pelan, berharap tuannya bisa menemukan kebahagiaan di tengah kerumunan yang tampak dingin.

---

Keesokan harinya, Aletta diantar oleh Pak Manto ke sekolah dengan mobil BMW mereka. Ketika tiba, sekolah masih sepi. Dia melangkah masuk ke kelas dengan tenang, berharap hari itu akan lebih baik. Pelajaran pertama adalah matematika, salah satu pelajaran favorit Aletta. Dia sangat antusias menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh guru, seakan itu adalah pelarian dari segala tekanan sosial yang dia rasakan di sekolah.

Namun, saat waktu istirahat tiba, masalah baru muncul. Rachel, salah satu teman sekelasnya, menatap Aletta dengan sinis. "Jangan sok pinter di depan guru, ya. Gue juga bisa. Awas lu kalau nanti jawab pertanyaan lagi!" ancamnya dengan nada tajam. Aletta hanya diam, mencoba menghindari konflik.

Setelah Rachel dan teman-temannya pergi, Aletta menuju kantin untuk membeli makan siang. Dia memesan soto dan es teh, kemudian dengan hati-hati mencari tempat duduk. Namun, di tengah jalan, dia tersandung dan nampan yang dibawanya jatuh, mengakibatkan soto panas dan pecahan gelas mengenai seorang siswa di depannya. Ternyata, itu adalah Kak Eyden.

"Ahh, panas!" seru Eyden sambil mundur sedikit. Aletta panik dan segera meminta maaf, berusaha berdiri sambil merasa bersalah. "Maaf kak, aku nggak sengaja kesandung tadi," ucapnya terbata-bata. Eyden, dengan tenang, menyatakan bahwa itu bukan masalah besar. Namun, dia melihat tangan Aletta berdarah terkena pecahan gelas.

Tanpa berpikir panjang, Eyden menarik tangan Aletta dan membawanya keluar dari kantin, menuju UKS. Di sana, dia membersihkan luka di tangan Aletta dengan hati-hati, membalutnya dengan perban, dan bertanya apakah Aletta masih merasa sakit. Aletta tersenyum kecil, meskipun masih merasa bersalah. "Sudah nggak terlalu sakit, Kak. Makasih ya, Kak," ucapnya lembut.

"Tenang aja, baju gue bisa dicuci. Lo pulang aja, tangan kanan lo kan masih sakit. Gue izin ke guru buat lo," ujar Eyden. Aletta sempat ragu, tapi akhirnya menurut. "Yaudah, aku pulang."

---

Di kantin, Rafael, salah satu teman Eyden, melihat kejadian itu dengan heran. Eyden jarang sekali peduli pada orang lain, apalagi sampai membawa seseorang ke UKS dan merawat luka mereka. Rafael segera menyusul Eyden ke UKS. Ketika dia sampai, Eyden sudah selesai mengganti pakaiannya yang basah. "Den, tadi lo sampai diliatin satu kantin. Gila, gue baru tau lo bisa perhatian sama orang, selain sama nyokap dan adek lo," goda Rafael sambil melemparkan baju bersih kepada Eyden.

Eyden hanya tersenyum, membiarkan ucapan Rafael menggantung di udara. Mereka pun berpisah setelah itu, berjalan menuju arah yang berbeda untuk pulang.


INI RAFAEL

INI RAFAEL

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


















BTW jangan lupa coment and vote yaa

Jangan lupa folow juga akun wp ku

Aletta [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang