Fix! UN1TY Nyebelin! 2 [SELESAI]

Kendala Syuting

BRAK!

Mas Angga membanting segepok naskah di tangannya ke meja begitu gue dateng. Fiki yang bilang mau temenin gue pun ternyata seserius itu mau temenin, apa pun nanti risikonya. Hati gue langsung nyess rasanya pas denger Mas Angga banting naskah di hadapan gue. Hasil kerja keras gue itu cuy!

"LO BISA BIKIN NASKAH NGGAK SIH, RA?! KENAPA BERANTAKAN SEMUA?"

Gue mengerutkan dahi sambil nunduk. Gue mikir lagi, apa iya gue ceroboh soal menulis naskah? Nggak ada di kamus gue kalo gue nulis berantakan sampe bikin orang marah. Ini fatal banget! Naskah yang gue tulis kali ini aja udah bikin tepar dan pusing tujuh keliling setiap revisi. Dari mulai kejar Bu Mala ke kantornya, panas-panasan sampe mimisan, dan akhirnya rawat inap karena tipes.

Ya, seminggu sebelum keberangkatan ke lokasi syuting gue sakit. Dan, gue nggak bilang ke kru terutama Mas Angga. Takut aja ngerepotin dan bisa-bisa jadwal syuting semakin ditunda. Gue nggak mau aja mengulur waktu orang lain apalagi Fiki dan temen-temennya, mereka kan juga punya urusan lain, bukan cuma syuting film ini.

Badan gue udah panas dingin dengerin omelan lanjutan dari Mas Angga; mulai dari naskah nggak rapi, typo di mana-mana, ejaan berantakan, dialog ketuker, dan susunan lembar yang acak (yang ini gue nggak yakin di semua naskah yang udah dicetak, yang nyusun bukan gue doang). Fiki yang di sebelah gue spontan genggam tangan gue dan ucap tanpa suara, "tenang aja, gue temenin lo di sini."

Gue nggak nyangka Fiki sebaik ini sampe akhirnya ....

"Fiki, lo balik aja ke tempat temen-temen lo sana." Mas Angga ngomong tanpa menatap gue ataupun Fiki, tentu sambil bolak-balikin kertas naskah di tangannya.

"Enggak, Mas. Gue mau temenin Mora di sini—" jawab Fiki keukeuh dan langsung dipotong Mas Angga.

"—lo balik aja! Gue punya urusannya sama Mora bukan sama lo!"

"Nggak bisa gitu dong, Mas. Mora baru aja kena ti—" Gue langsung nyenggol lengan Fiki supaya nggak lanjutin ucapannya. Nggak baik aja adu debat sama sutradara. Dan ... iya, Fiki tau kalo gue kena tipes waktu itu.

"Kena apa?"

Gue jawab cepat sebelum Fiki nyamber lagi. "Nggak kena apa-apa, Mas." Fiki menatap gue horror, jelas dari wajahnya minta penjelasan kenapa gue nggak bilang jujur soal sakit waktu itu. Ya tapi kenapa juga bilang, sakitnya udah lewat juga, 'kan?

"Fik, tinggalin gue sama Mas Angga dulu, ya? Biar gue ngomong berdua dulu sama Mas Angga, sebentar aja kok."

Fiki menggeleng tegas. "Enggak, Ra. Gue mau temenin lo—"

"Fik, gue mohon. Yaa?" pinta gue memelas.

Dengan berat hati dan wajah yang nggak rela, Fiki mengangguk. "Ya udah, kalo lo udah kelar datengin gue aja. Jangan lupa banyakin minum air putih biar—"

"Iya Fik, iya."

Potong aja selagi nggak ngelantur bahas tipes. Fiki memutar bola matanya malas dan balik badan meninggalkan gue dengan langkah sedikit dihentak. Emang gitu, Fiki moody banget kalo udah begini.

"Kacau! Bisa-bisanya lo nulis kayak gini?"

Balik ke Mas Angga. Ampun banget! Gue mau nangis diomelin begini, apalagi sama sutradara kayak Mas Angga. Yang harus diketahui dari Mas Angga adalah dia orang yang perfeksionis dan idealis. Dia nggak mau film yang dibuat berasal dari naskah yang ecek-ecek dan gue merusak itu semua. Sepanjang Mas Angga ngasih tau—lebih tepatnya ngebentak karena nada suaranya tinggi—dan mulai mengoreksi kesalahan-kesalahan di naskah, gue cuma nunduk dan nangis.