6. INIKAH SARANJANA?

361 27 0
                                    

Bacalah cerita ini ditempat yang sunyi, gelap dan tak ada penerangan sedikit pun. Percayalah, akan ada seseorang yang akan menemanimu. Yaitu teman tak kasat mata Trisya.

6. INIKAH SARANJANA?
_____________________________________

Setelah semalam Trisya bermimpi aneh, pagi ini ia masih memikirkan semua itu. Banyak sekali pertanyaan di dalam dirinya, terkait kejadian yang sulit di tebak.

Trisya berjalan sambil melamun, Ruhi yang sedari tadi bicara pun ia acuhkan. Untungnya, Ruhi berjalan di depan dan tidak mengetahui kalau sebenarnya Trisya tidak mendengarkan semua ucapannya.

“Pokoknya serem deh! Semalam, kamu mimpi itu juga enggak?” ucap Ruhi.

Namun, ia tak mendengar respon dari Trisya. Kemudian ia membalikkan badannya.

“Trisya!” teriak Ruhi, dan membuat Trisya terkejut. “Ih, dari tadi aku ngomong enggak didengerin?” Ruhi memutar bola matanya malas. Trisya sungguh membuatnya kesal.

“Emangnya apaan?” tanya Trisya.

“Ya ampun! Semalam kamu mimpi aneh juga enggak?! Dengerin kalau aku ngomong itu?!” tegas Ruhi, lalu melipat kedua tangannya di dada.

“Apa?!” Trisya terkejut. Mimpi apa yang Ruhi alami? “Mimpinya serem enggak? Terus di sekolah enggak? Dan ada putaran waktu enggak?” ucap Trisya tak henti-henti. Ruhi menganga, bagaimana bisa Trisya mengetahuinya?

Ruhi terdiam, kemudian menelan salivanya. Ia lupa, kalau Trisya bisa mengetahui semuanya. Kemudian ia berpikir sebentar, lalu menatap Trisya gelagapan.

“Kok tahu sih? Kamu juga mimpiin itu?” tanya Ruhi, sambil memeluk tubuhnya sendiri.

“Kalau begitu, Embun, Arin, Lisa, sama—” Trisya menggantungkan ucapannya.

“Kita!”

Mereka berdua tersentak, mendengar suara berat yang entah tak tahu dari mana asalnya.

“Kita, mimpiin hal itu semua juga. Ada apa sebenarnya?” tanya Jamal, yang berada di belakang Trisya dan Ruhi.

Trisya tersentak, kemudian membalikkan badannya. Ia terkejut melihat Jamal, Rana, Iyan, dan Hans yang sudah berdiri tegap menatapnya.

“Kita juga mimpi itu semalam!” Suara yang tidak begitu asing juga di telinga Trisya.

Embun, Arin, dan Lisa berjalan dari lorong sebelah kanan. Lalu berhenti tepat di samping mereka berdua.

“Jelasin sama kita, maksud mimpi itu. Sekarang!” ucap mereka bertujuh.

Trisya mengedarkan pandangannya. Kemudian menyerah dengan keadaan. Mereka semua pasti bingung, begitu juga dengan dirinya sendiri.

***

Taman sekolah yang biasa Trisya datangi. Sekarang mereka berada di sana. Semuanya telah mengelilingi Trisya, dan menatapnya serius.

Trisya sampai bingung dengan sikap mereka semua. Kemudian menilik satu persatu wajah mereka. Dan mulai memejamkan matanya.

“Ok, aku juga enggak tahu apa-apa. Yang jelas, menurut penerawangan dari Embun. Kita semua bakalan menjelajah waktu. Bukan menjelajah, tapi masuk ke dalam dunia ghaib,” jelas Trisya, lalu menghela napas kasarnya.

“Maksudnya apa? Gue enggak ngerti!” ucap Jamal.

“Embun, Arin, sama Lisa. Coba ke tengah,” titah Trisya. “Mereka akan bantu aku jelasin semuanya kepada kalian.”

Mereka menjelaskan semuanya. Arin dan Lisa juga membuka jati diri mereka di hadapan Ruhi, Jamal, Rana, Iyan, dan Hans. Begitu terkejutnya Ruhi, ia hampir saja pingsan.

“Kenapa kita harus ikut, sih?” ucap Rana, yang tampak tak terima.

“Aku enggak mau ikut! Aku takut Trisya!” Ruhi menggigit bibir bawahnya takut. Kali ini, ia harus terlibat dengan hal mistis.

Arin dan Lisa menatap satu sama lain. Kemudian menarik tangan Trisya dan Embun.

“Ini adalah waktu yang tepat untuk berkunjung ke sana,” ucap Arin.

Mereka saling berpegangan tangan satu sama lain. Mengerahkan pikiran dan kekuatan untuk sampai menuju Kota Saranjana.

Trisya membuka telepatinya. Dibantu Embun dan juga Lisa. Kemudian mereka semua memejamkan mata dan mulai fokus dengan apa yang akan terjadi.

Cahaya putih mulai menyelimuti diri mereka. Membentuk sebuah lingkaran, dan menelan mereka semua ke dalam putaran waktu. Mereka mulai masuk menuju dimensi lain.

Dalam sekejap mata, mereka sampai di pesisir pantai Kalimantan. Kemudian, mereka membuka mata dan mengedarkan pandangan ke sekitar.

Trisya dan Embun tercengang, melihat sebuah Kota yang begitu indah, megah, dan maju. Namun, selain dari mereka berdua, tak ada lagi yang dapat melihat itu. Menurut apa yang mereka lihat, Kota Saranjana adalah sebuah pulau kecil saja.

“Kita jadi di sini, sih? Bukannya langsung ke Kota itu?” ucap Ruhi yang tampak bingung.

“Ya ampun, Ruhi. Itu Kota segede lautan, kamu enggak lihat?” ucap Trisya, sambil geleng-geleng.

Ruhi melongo, tak percaya dengan apa yang Trisya ucapkan. “Kamu ngigo ya? Jelas-jelas itu pulau doang!”

“Ruhi, itu Kota tahu!” timpal Embun. Semuanya mengucek mata, kemudian menatap Trisya dan Embun aneh.

“Bener kata Ruhi. Kita enggak lihat apa-apa di sini!” ujar Iyan.

“Bener tuh!” sambung Hans.

Trisya dan Embun tampak kebingungan. Tak tahu harus bagaimana, dilain sisi, pulau yang mereka lihat itu adalah Kota Saranjana.

“Sudah!” lerai Arin. “Kalian enggak punya kemampuan kayak mereka. Mereka istimewa!” jelas Arin. Kemudian menghampiri mereka satu persatu.

Arin dan Lisa mengusapkan tangan ke wajah mereka semua. Setelah itu kembali lagi ke posisi awal semula.

“Embun, coba kamu pejamin mata, terus buka lagi,” titah Lisa. “Trisya, kamu buka telepati lagi.”

Atas arahan Lisa. Trisya dan Embun menuruti semuanya. Mereka telah sampai di depan gerbang Saranjana, begitu besar dan juga megah.

Jamal membulatkan matanya sempurna. Baru saja sampai di gerbang, belum lagi masuk ke dalam Kota itu. Pasti ia akan syok melihatnya.

“Wah ini berjanda, kan?” ucap Rana terkesima.

“Bercanda, Rana!” Koreksi Hans.

Trisya terdiam, gerbang masuk Saranjana, sama persis seperti yang ada di mimpinya. Apakah, Trisya kemang sudah pernah masuk ke kota itu?

“Embun, aku enggak salah lagi! Aku emang udah pernah ke sini sebelumnya,” ucap Trisya, tanpa mengalihkan matanya.

Setelah itu, Arin dan Lisa memimpin di depan. Mereka semua masuk dan memandang kota itu penuh kagum.

“Gila, ini kota apa kota sih? Kok indah banget ya?” ucap Hans kagum.

“Sumpah! Bener kata internet, Saranjana adalah kota terindah yang baru gue lihat,” ucap Jamal, ia mulai terpengaruh dengan kemajuan kota itu.

“Tunggu!” cegah Arin. “Sebelum kalian masuk lebih jauh lagi. Ada beberapa pantangan yang wajib kalian ketahui,” jelas Arin.

“Pantangan?” Ruhi mengerutkan keningnya bingung.

“Iya. Kalian enggak boleh makan, makanan di Kota Saranjana ini!” titah Lisa. Mereka mengangguk.

“Kalau makan emangnya kenapa? Pasti kita bakal lapar lho di sini!” sanggah Iyan.

Arin dan Lisa terdiam. Mereka tak akan memberitahukan semuanya. Mereka cuma mengingatkan, agar larangan itu tidak dilanggar.

“Emangnya kenapa?” Kali ini Embun bicara.

“Pokoknya, enggak boleh! Nanti kalian yang rugi sendiri!”

Lalu mereka melangkahkan kaki, mengelilingi Kota Saranjana yang memang membuat mereka terpesona.

Bersambung

Bogor, 28 Juli 2021

SARANJANA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang