7. JANGAN LIHAT AKU

313 21 0
                                    

Bacalah cerita ini ditempat yang sunyi, gelap dan tak ada penerangan sedikit pun. Percayalah, akan ada seseorang yang akan menemanimu. Yaitu teman tak kasat mata Trisya.

7. JANGAN LIHAT AKU
_____________________________________

Arin dan Lisa terdiam. Mereka tidak akan memberitahukan semuanya. Mereka hanya mengingatkan, agar larangan itu tidak dilanggar.

“Emangnya kenapa?” Kali ini Embun bicara.

“Pokoknya, enggak boleh! Nanti kalian yang rugi sendiri!”

Lalu mereka melangkahkan kaki, mengelilingi Kota Saranjana yang memang membuat mereka terpesona.

Namun, netra Trisya melihat sosok laki-laki yang sepertinya ia kenali. Tapi, ia tidak tahu melihat laki-laki itu di mana?! Setelah lama berpikir, akhirnya ia ingat. Laki-laki itu, adalah sosok yang pernah datang di dalam mimpinya.

Laki-laki itu tersenyum, lalu menarik tangan Trisya. Si empu yang mendapat perlakuan itu dari si laki-laki, hanya bisa diam sambil terheran-heran. Mereka juga tidak ketakutan, dan mengikuti Trisya dari belakang.

Jamal masih belum percaya dengan semuanya, akhirnya ia memetik sebuah apel dari pohon yang ia temui di jalan. Tanpa rasa takut dengan bahaya yang telah disampaikan Arin dan Lisa, akhirnya ia memakan santai apel itu sampai habis. Tanpa sepengetahuan mereka semua.

Embun yang menyadari kalau Jamal tidak ada bersama mereka pun bingung dan langsung mencarinya. Ke mana Jamal sebenarnya? Pikirnya.

“Jamal mana, bukannya tadi dia di belakang kita ya?” tanya Embun tiba-tiba. Setelah itu mereka mengedarkan pandangan ke sekitar.

“Eh, iya! Di mana dia?” ucap Trisya. Tidak lama, Jamal datang dengan sikap tidak bersalah.

Semua menatap Jamal tajam. Setelah itu menghampirinya sembari melipat tangan di dada.

“Ke mana aja lo?” tanya Rana sambil memegang bahu Jamal. Jamal terdiam, tidak mungkin ia memberitahukan semuanya.

“G-gue, tadi lihat rumah besar itu. Iya, gue lihat rumah itu!” ucap Jamal gugup. Semuanya hanya mengiyakan, dan segera kembali berjalan.

Langkah Trisya terhenti, ketika laki-laki tadi menatapnya serius. Lalu tersenyum dengan penuh arti. Ada apa demikian?

Laki-laki itu membawa Trisya menuju sebuah rumah tua. Namun, hanya Trisya saja. Yang lainnya menunggu dan tidak diizinkan untuk ikut masuk ke dalam.

Mata Trisya terbelalak, matanya tidak mungkin salah lihat. Terdapat satu lukisan yang mencuri perhatiannya. Foto keluarga yang sepertinya tidak asing lagi dipikirannya. Tapi, ada sesuatu yang aneh. Ia melihat wajahnya sendiri di dalam lukisan itu. Kemudian mencoba menyentuhnya. Namun, laki-laki itu segera mencegahnya.

“Jangan sentuh!” cegahnya. Trisya langsung menarik kembali tangannya. Dan menatap laki-laki itu takut.

Trisya tidak tahu nama laki-laki itu. Tapi, perasaannya begitu nyaman setelah dekat dan menatapnya.

“Maafkan saya, kamu boleh keluar. ” Trisya segera keluar. Karena menurutnya, ada yang aneh di dalam rumah itu.

“Tunggu!” cegahnya lagi. “Setelah ini, akan ada bahaya yang akan menjumpai kamu. Bersiaplah!” ucap laki-laki itu, setelah itu Trisya keluar. “Maaf, belum saatnya kamu mengetahui semuanya.”

***

Trisya keluar dengan perasaan yang begitu aneh. Ia melihat patrinya di dalam lukisan yang ia lihat tadi. Matanya tidak salah lihat. Memang sudah jelas, itu adalah dirinya. Lalu, laki-laki itu siapa?

“Kamu ngapain aja di dalam?” tanya Ruhi, dengan tatapan penasaran. Namun, Trisya tidak merespon ucapannya.

Kemudian, Trisya duduk di sebuah batu. Dan menatap satu persatu para temannya.

“Perasaan aku enggak enak! Kayaknya bakalan ada bahaya yang akan datang,” jelas Trisya, dengan raut wajah yang begitu cemas.

“Mungkin cuma perasaan lo aja, Tris?!” tegas Hans. Tapi, tidak mungkin feeling Trisya salah. Karena setelah ia menginjakkan kaki di gerbang. Perasaannya sudah sangat tidak enak, seperti ada sesuatu yang mencegahnya untuk masuk. Tapi apa?

“Benar!” ucap Arin. “Setelah kalian masuk ke dunia kami. Apa yang kalian rasakan?” tanya Arin kepada semuanya. Tatapannya sulit untuk dipahami.

Trisya terdiam. Kemudian memejamkan matanya. Ia sangat tidak tenang saat ini. Ucapan laki-laki tadi masih teriang-ngiang di kepalanya.

“Apa yang Trisya ucapkan, memang ada benarnya. Bahaya sedang mengintai kita,” ucap Embun dengan serius. Feelingnya dengan Trisya tidak mungkin salah. 

Trisya kembali bangkit dari duduknya. Kemudian percaya akan langkahnya sendiri. Apa pun yang terjadi, harus tetap bertahan.

“Siapkan diri kalian. Kita harus segera kembali ke dunia kita. Hari sudah semakin gelap.” Mereka mulai perjalanan, untuk sampai menuju gerbang.

Belum juga mereka melangkahkan kaki, kabut putih mulai menyelimuti semuanya. Al hasil, mereka tidak bisa melihat keadaan sekitar.

“Kalian tetap di tempat. Jangan sampai terpencar!” ucap Arin memberitahu. “Kabut ini akan membawa bahaya buat kita.” Ucapan Arin membuat semuanya bungkam. Apakah semacam kabut beracun?

“Semuanya putih! Enggak ada yang bisa dilihat. Kalian enggak apa-apa, kan?” Ruhi panik. Kali ini ia sangat ketakutan sekali.

Menurut rumor yang beredar, kabut yang berada di Kota Saranjana. Sering kali membuat manusia tersesat ke sembarang arah. Entah itu mengantarkan ke tempat yang aman, atau sebaliknya ke tempat yang berbahaya.

Karena panik, mereka semua tidak menuruti ucapan Arin. Dan malah berjalan tanpa tahu arah jalan yang benar.

“Ini tangan siapa?” tanya Trisya. Ketika dirinya meraba-raba.

“Tangan gue!” ucap Jamal. Trisya terkejut, kemudian melepaskannya. “Jangan dilepasin! Nanti lo malah tersesat lagi,” ucap Jamal.

Trisya, Jamal, Rana, dan Embun berjalan ke arah timur. Ruhi, Hans, dan Arin berjalan ke arah selatan. Sedangkan, Iyan, dan Lisa berjalan ke arah barat. Semuanya terpecah belah. Dan memilih jalannya masing-masing.

Apa yang akan terjadi dengan mereka? Apakah dengan melakukan itu, mereka akan sampai di tempat semula?

Bersambung

Bogor, 09 Agustus 2021

SARANJANA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang