8. TERJEBAK

291 21 0
                                    

Bacalah cerita ini ditempat yang sunyi, gelap dan tak ada penerangan sedikit pun. Percayalah, akan ada seseorang yang akan menemanimu. Yaitu teman tak kasat mata Trisya.

8. TERJEBAK
_____________________________________

Gumpalan kabut putih, masih menyeruak ke seisi Kota Saranjana. Mereka masih terjebak, dan tidak tahu bagaimana caranya untuk membebaskan diri.

Bisa saja mereka jatuh ke jurang, jika tidak berhati-hati dalam melangkahkan kaki.

Trisya mulai melemah, tubuhnya seketika bisa saja ambruk. Jika mau, dan kapan saja. Jamal masih menggenggam tangan Trisya kuat. Trisya tersentuh dan begitu bersyukur.

“Tris? Kita udah sampe belum sih?” tanya Embun. Yang juga tidak bisa melihat keadaan.

Sampai kapan mereka akan seperti itu? Mereka harus segera pulang dari Kota ghaib ini. Semua telah mereka peroleh, dan jawabannya nyata.

“Entahlah, aku juga tidak tahu,” jawab Trisya.

Trisya kecil, ayo kemari sayang...
Kita bermain seperti dahulu
Bersenang-senang dalam setiap kebahagiaan.

Suara itu ... kembali terdengar di telinga Trisya. Kenapa setiap ada masalah, nyanyian itu ikut hadir untuk memanaskan perasaan Trisya?

Kau lari dan terjatuh
Menangis karena merasa sakit
Lalu berdiri dan tersenyum kembali.

Trisya mulai terbenam dalam situasi yang terbilang bingung. Sebenarnya, ini di mana? Apa mungkin suara yang sering ia dengar berasal dari Kota Saranjana?

Lagi, lagi, dan lagi. Trisya dibuat bingung dan entah, harus berbuat apa. Genggaman tangan Jamal terlepas. Trisya terkejut, dan langsung meraba dan segera meraih tangannya lagi.

“Lho, Jamal? Kamu di mana?” tanya Trisya cemas.

“Jamal bukannya ada bersama kita?” ucap Rana, yang hanya bisa bicara saja.

Tiba-tiba, tangan Trisya kembali dicekal. Mungkin Jamal kembali meraih tangannya.

“Nah, dia pegangin tangan aku lagi!” ucap Trisya.

“Caelah! Modus banget Mbak-nya!” pekik Embun.

***

Dari selatan, Ruhi, Hans, dan Arin juga masih mencari jalan keluar. Namun, kondisi dan suasana mereka tidak separah Trisya dan yang lainnya. Ada Arin yang tahu jalan menuju gerbang di mana mereka menginjakkan kaki di Kota Saranjana ini.

Ruhi yang notabenenya memang penakut, tidak henti-hentinya merengek dan meneguk salivannya berkali-kali. Menurutnya, masuk ke Kota Saranjana sungguh menguji adrenalinnya. Jika kalian ada diposisi Ruhi, akan melakukan hal yang sama?

“Duh, kamu jangan lepasin tangan aku dong, Hans!” ucap Ruhi, sambil ketakutan.

“Kenapa? Lo suka ya sama gue?!” ucap Hans geer. Kemudian tersenyum bangga.

Ruhi memutar bola matanya malas. Sungguh percaya diri sekali Hans itu. Ruhi lebih suka dipegang oleh Rana, ketimbang Hans yang memang banyak tingkah.

“Amit-amit! Siapa juga yang mau dipegang sama kamu? Enggak ada!” tegas Ruhi, sambil berdecak.

Arin yang mendengarnya pun ikut kesal. “Diam! Disituasi kayak gini aja, kalian malah berantem. Mau pulang enggak? Kalau enggak juga, ya enggak apa-apa sih. Mungkin kalian akan tinggal di sini selamanya!” ucap Arin panjang lebar, membuat Ruhi dan Hans bergidik takut.

“Ih enggak! Siapa juga yang mau tinggal di Kota ghaib ini?” kilah Ruhi, kemudian diam. Mungkin dengan cara dirinya diam, mereka akan segera sampai di gerbang.

SARANJANA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang