11. SEBUAH KENYATAAN

266 19 0
                                    

Bacalah cerita ini ditempat yang sunyi, gelap dan tak ada penerangan sedikit pun. Percayalah, akan ada seseorang yang akan menemanimu. Yaitu teman tak kasat mata Trisya.

11. SEBUAH KENYATAAN
_____________________________________

Seorang laki-laki melambaikan tangannya ke arah Trisya, dan tersenyum. Laki-laki itu yang ada dimimpinya semalam. Kenapa laki-laki itu selalu saja ada di setiap Trisya muncul?

Tanpa gerakan apa pun, Trisya tersenyum dan menghampiri laki-laki itu. Entah atas dorongan dan maksud apa Trisya sangat ingin sekali melihat wajah laki-laki itu.

“Tris! Lo mau ke mana?” tanya Rana, yang sangat mencegah Trisya untuk menghampiri laki-laki itu.

Ingat! Salah satu di antara mereka akan tidak selamat. Oleh karena itu, Rana sangat menyayangkan kalau Trisya dekat dengan orang asing di Kota Saranjana ini. Bukan karena hal apa pun, mereka datang bersama, dan kembali pun harus bersama.

“Aku merasa, laki-laki itu sangat sayang banget sama Trisya,” ucap Embun, yang menatap ketulusan di mata laki-laki itu.

“Mungkin. Dari yang gue lihat, sikapnya itu kayak Ayah kandung Trisya. Emangnya Ayah Trisya dia gitu?” ucap Iyan menambahkan.

Mereka tidak dapat mencegah apa pun. Itu adalah hak Trisya untuk berhubungan dengan siapa saja.

“Jangan salah, nanti kalian tahu sendiri kebenarannya,” jelas Lisa. Kemudian merangkul tangan Arin.

“Tugas kita di sini hampir selesai. Kami akan tetap menjadi manusia biasa, dan bergaul bersama kalian. Tapi, kita juga harus menerima. Salah satu dari kalian, pasti ada yang harus berkorban,” tegas Arin. Ucapannya kembali membuat mereka termenung. Apakah sanggup? Atau tidak bisa menerimanya?

Setiap perjalanan, akan ada akhir yang membuat kita terdiam akan setiap yang dilihat. Baik itu sebuah gambaran yang baik, atau malah sebaliknya.

Dunia ini hanya sebagai perantara dan tempat tinggal sementara. Keberadaan Kota Saranjana pun perlahan akan diketahui banyak orang. Namun, mungkin hanya orang yang dapat mengerti dimensi waktu.

“Aku punya satu permintaan. Kalau salah satu dari kita harus berkorban. Ikhlaslah, karena kita melakukan ini demi kebaikan semuanya. Dan, pasti kita akan kembali bersama di waktu yang berbeda.” Ruhi akan ikhlas, jika dirinya yang harus berkorban. Karena menurutnya, hidup adalah pendorong dan penghapus segala sesuatu yang membuat kita sering menyalahkan segalanya kepada diri kita sendiri.

“Iya. Kita harus bisa melakukannya. Ataupun kita bisa mengubah ramalan itu sendiri,” ucap Hans. Yang membuat mereka tercengang.

“Bisa juga! Apa salahnya kita mengubah takdir? Siapa tahu bisa saja terjadi, kan?” ucap Embun, yang mulai bersemangat kembali.

Trisya sudah masuk dan duduk bersama laki-laki itu. Kini, ia memejamkan matanya. Sebuah bayangan di masa lalu, hadir di kepalanya. Beberapa menit kemudian, ia membuka matanya. Dan menatap laki-laki itu tidak percaya.

Dalam penglihatannya, Trisya adalah seorang keturunan Saranjana. Ia lahir di Saranjana, namun besar di dunia biasa. Laki-laki yang berada di hadapannya adalah Ayah kandungnya. Pantas saja selalu masuk ke dalam mimpinya. Karena ia memang Ayah Trisya.

“Ini enggak mungkin, kan?” ucap Trisya.

“Trisya, ini Ayah kandung kamu. Ayah yang selama ini menunggu kehadiranmu,” jelasnya. Namun, Trisya tidak mudah percaya begitu saja. Bisa saja laki-laki yang mengaku Ayahnya adalah orang jahat.

“Ayahku ada di rumah. Kamu bukan Ayahku.” Suara Trisya bergetar, tangisnya pecah saat itu juga. Apakah ia harus menerima kenyataan ini?

Embun, Ruhi, Rana, Iyan, dan Hans. Mereka menjauh. Tidak ingin menganggu momen Trisya dengan Ayahnya. Harus mereka akui, apa yang mereka lihat, semuanya di luar kepala dan dugaan.

“Nak, ini Ayah. Kamu kenapa menjauh?” Trisya mencoba menjauh. Namun, ia kembali ingat saat dirinya dibawa pertama kali oleh Ayah kandungnya. Patrinya yang berada di dalam lukisan itu, adalah bukti nyata. Kalau ia memang benar keturunan Saranjana.

“Kalau kamu memang Ayahku. Siapa namamu?” tanya Trisya. Kemudian menghampiri Ayahnya.

“Panglima Tirta Adhiyaksa,” jawabnya. “Panggilan Ayah, Tirta.”

Kemudian, Trisya melihat liontin yang ia pakai. Dan melihat nama Tirta di liontin itu. Semua bukti mengarahkan kepada kebenaran. Trisya harus mengakui semuanya.

“Ayah ....” ucap Trisya. Lalu ia memeluk erat Ayahnya. Dan menangis sejadi-jadi. “Ini beneran Ayah, kan?” tanyanya.

“Iya, Nak. Ini Ayah. Sudah lama sekali Ayah menunggu kamu. Tapi sayang, Ibumu tidak bisa melihat kamu tumbuh dewasa.” Trisya menatap Tirta bingung.

“Ibu? Ke mana Ibu?”

“Dia meninggal setelah melahirkan kamu.” Trisya terdiam, sungguh kenyataan yang begitu luar biasa. Perlahan, semuanya terbongkar. Rahasia apalagi yang tidak ia ketahui?

“Baik, Ayah akan menceritakan semuanya.”

Tirta menjelaskan semuanya kepada Trisya. Putrinya wajib tahu, kenapa ia sampai berada di dunia manusia. Dan memiliki kemiripan dengan manusia lainnya.

“Ibumu, memang dari dunia manusia. Sehingga, kamu adalah manusia seutuhnya,” jelas Tirta. Kini Trisya mengerti, begitu banyak kenyataan yang ia ketahui saat ini.

Bersambung

Bogor, 12 Agustus 2021

SARANJANA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang