08

251 27 1
                                    

Note : Full Flashback






"Kau serius mau punya asisten pribadi? " Tanya sang manajer untuk meyakinkan dirinya sendiri.

"Aku yakin, astaga. Kenapa kau kerap mengulang pertanyaan itu? " Si artis hanya mengerang frustasi mendengar kembali pertanyaan yang sudah ditanyakan hampir dua puluh kali hari ini dan itu membuatnya pusing.

"Kenapa kau mau memiliki asisten pribadi? Lagipula, kau kan sudah memilikiku. "

Minho menghela napasnya. "Aku ingin ada seseorang yang mengurus apartemen ini juga diriku saat tidak ada job. " Jelasnya.

"Well, kalau itu keputusanmu, akan ku carikan. Tapi setelah ijin dari Agensi turun. " Finalnya lalu menghilang dibalik pintu.











Tidak sampai seminggu, Agensinya sudah berhasil menemukan asisten pribadi untuknya. Yang penting adalah mampu komitmen terhadap kontrak dan juga dapat menjaga privasi sang artis.

"Kami sudah mendapatkannya. Ia bahkan tidak mengenal siapa dirimu. Tenang saja, anak ini baru saja merantau dari kampungnya. Bagaimana, apa kau puas? " Sang manajer berdiri dan menatap Minho jengah yang terduduk di sofa apartemennya. "Namun, ada satu hal lagi. Karena ia baru disini, jadi dia tidak punya tempat tinggal. Apa kau akan mengijinkannya untuk tinggal sementara disini atau bagaimana? " Tambahnya.

"Terimakasih, Hyung. Untuk urusan itu, ia boleh tinggal bersamaku disini. Aku tidak masalah, asal tidak menganggu privasiku saja. Itu sudah lebih dari cukup. "

"Baiklah, kau akan bertemu dengannya siang ini. " Ucap manajer Park dan pergi begitu saja.






















Ting tong

Bel milik apartemen milik artis ternama itu bergema ke seluruh ruangan. Aktivitas manusia didalamnya harus terhenti untuk membukakan pintu bagi sang tamu.

Tangan Minho meraih gagang pintu dan membukanya. Tampak seorang pemuda dengan rambut yang ditata rapi jatuh kebawah. "Kau, Han Jisung? "

"Ah, benar. Selamat siang, namaku Han Jisung. " Ucapnya gugup dan membungkukan tubuhnya mengucapkan salam pada Tuannya. Ia tidak ingin melakukan kesalahan di hari pertamanya.

"Silahkan masuk. " Minho mempersilahkan tamunya untuk masuk kedalam.

Setelah menyajikan segelas air putih untuk Jisung, Minho bergabung dan duduk di sofa bersama dengan pemuda itu. "Maaf, hanya ada air putih. "

"Tidak apa, terimakasih. " Ucap Jisung dan meminum seteguk air yang disajikan untuknya.

"Kau berterimakasih hanya untuk segelas air putih? " Tanya Minho bingung.

"Tentu saja. Ketika kau menerima sesuatu dari orang lain, kau harus mengucapkan terimakasih. Bukan hanya untuk air putih ini, tapi untuk perkerjaan yang Tuan berikan padaku. " Jelasnya.

"Baiklah, baiklah. Tapi, bisakah kau jangan memanggilku Tuan? Aku tidak setua itu. Bagaimana kalau Hyung? "

"Aku sama sekali tidak masalah, Hyung. "

"Baiklah, kalau begitu, kau akan tinggal di kamar itu. " Ucap Minho sambil menunjuk satu pintu ruangan di depan mereka. "Semuanya lengkap. "

Jujur, Jisung agak tersentuh. Bagaimana bisa Minho sebaik itu? Segera saja, Jisung bangkit dan membungkukan tubuhnya untuk mengucapkan terimakasih. "Terimakasih, Hyung. "

"Hey, kau tidak perlu seperti itu. Biasa saja. Anggap saja ini adalah rumahmu. Semoga kau nyaman berada disini. "

"Tentu saja, Hyung, terimakasih. "

"Hey, ayolah. Biasa sajㅡah, lupakan. Pokoknya, yang harus kau lakukan adalah menyiapkan makanan untukku dan untukmu juga, jangan lupa untuk merapikan apartemen ini agar tidak tampak seperti kapal pecah. Itu saja. "

"Baik, Hyung, akan ku lakukan dengan baik! " Serunya riang. Jangan lupakan beribu bintang yang berada didalam bola matanya tersebut. Seolah, Minho baru saja menatap ratusan bintang yang berada diangkasa. Dirinya seakan-akan melayang diudara hanya karena menatap manik mata tersebut. Betapa indah dan menarik bola-bola mata itu.

Sepertinya, aku akan jatuh dalam dan semakin dalam pada Jisung, batin Minho.

Untuk saat itu, ia sadari kalau cinta pada pandangan pertama itu ada. Walaupun memang alasannya sangat sepele. Hanya karena dua bola mata yang menatapnya dengan berbinar, seorang Lee Minho yang tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama, dipaksa untuk mempercayai hal itu dengan mengalaminya.

𝕀𝕟𝕧𝕚𝕥𝕒𝕥𝕚𝕠𝕟 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang