12

3.2K 208 9
                                    

Hai!

Akhirnya bisa up lagi ya. So sorry and thankyou buat kalian yang masih mau nunggu aku lanjutin ceritanya. Abis ini kayanya bakal lebih teratur buat update. Karena udah lumayan senggang.

Happy reading! Jangan lupa vomment gengss❤️
.
.
.
.
.
.

Aku sedang menemani Anna makan selepas pulang sekolah di meja makan bareng Ibu juga. Aku udah nginep di rumah Ibu lebih dari perkiraan awal. Soalnya ada tuh yang bilang Minggu mau pulang ternyata molor sampai sekarang Selasa. Dah lah aku ngga tau kenapa bisa gitu.

Selama Mas Putra ngejelasin alasan kenapa perlu nginep lama di sana, sampai Jumat katanya, aku udah mulai emosi. Yang awalnya bilang mau minta izin penelitian malah sekalian penelitian awal. Ini anakmu udah nagih-nagih janjimu mas.

"Sayang, makan sama apa?" wajah Mas Putra muncul di layar handphoneku tengah menyapa Anna yang lagi melahap makanannya. Ya ampun pakai baju itu lagi. Mau gimana, ya, aku packing baju dia kan cuma buat sampe Minggu. Aku lebihin pun juga pasti tetep kurang.

"Apa ini, Ma?" Anna menunjuk ke arah piringnya sambil menoleh padaku.

"Rolade, sayang." kataku sambil terus mendengarkan percakapan anak bapak itu.

"Iya itu, Yah."

"Enak?"

"Enak! Mama juara." aku ngga bisa menahan senyum. Digombalin Mas Putra tentu ngga pernah. Tapi digombalin anak tuh rasanya wadidaw jiwa. Skill masak yang B aja tapi dapat pujian tuh kaya dapet pujian dari juri Juna plus dapet mobil mevvah sebagai pemenang.

"Mana? Ayah mau ngomong sama mama." haduh. Ini ya masih ada Ibu. Kan gimana gitu aku masih agak bete sama dia. Aku nerima hape dari Anna yang sudah terlanjur terulur ke arahku.

Tapi ada kalau belasan detik dia ngga mulai ngomong. Aku mengedarkan pandanganku ke selain layar hape. Sekilas aku lihat Mas Putra cuma mandangin layar doang. Tadi beneran dia kan yang bilang mau ngomong sama mama? Ya masa aku salah denger.

Sampai aku menangkap tatapan aneh dari Ibu yang seperti mau ngomong. Kok kamu diem aja sih, Lin? Pftt, aku lagi. Kalah mah kalau sama menantu kesayangan.

"Gimana, Mas?"

"Udah makan?"

"Udah."

"Sama apa?" sumpah pingin matiin aja nih video call. Malu banget, mana ini Ibu kaya ndengerin gitu loh sambil ndampingi Anna makan. Apa akunya yang ge er?

"Rolade sama sambal goreng kentang. Kenapa?" aku baru menyadari suaraku sedikit naik sesaat setelah berhenti bicara.

"Hmm, kayaknya enak ya?"

"Enak nasi kotak punyamu kan? Sampe berhari hari hari hari di sana."

"Ngga, sih. Biasa aja. Enak lodeh bikinanmu."

"Udah ya Mas. Ini aku mau nyuci piringnya Anna."

"Nanti aku telfon boleh?" ngapain pake nanya. Biasanya juga langsung telfon. Aku bahkan sama sekali ngga ada niatan buat reject. Palingan kalau masih males ngomong aku kasi ke Anna dulu hapenya. Sembari aku menata mood biar ngga gitu jutek.

"He em, telfon aja."

"Yaudah, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Aku ke dapur kotor untuk mencuci bekas makan Anna. Ibu dan Anna masih berbincang, tapi kayanya sekarang pindah ke ruang keluarga sambil nonton televisi. Karena lumayan kedengeran sampai sini.

RalineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang