6

4K 227 11
                                    

Halo! Malu banget guys wkwkwk. Tiap ada vote atau comment masuk rasanya tuh kaya "Wih ada yang baca." Secara emang cerita ini tuh nulisnya iseng aja. Haha, anyway jangan lupa vote comment✨
.
.
.
.
.

Proker, praktek lapang,tugas, semua bikin hidup makin sibuk. Aku tuh gatau, bukan, bukan gatau sih tapi bingung setiap orang yang nanya aku mau jadi apa nantinya. Rasanya ngikut arus aja, ada kepanitiaan ikut, tugas kelarin aja, pokoknya semua kukerjain sewajarnya. Bahkan besok mau UAS, tapi aku masih aja tuh baca novel kaya sekarang. Baca buku Makro Menengah lama-lama bikin otak panas.

Kalau kata Mas Putra, caraku memegang buku itu ga sopan. Aku bacanya sambil tiduran terus aku lipet gitu biar gampang bacanya. Harusnya kata dia ya taruh di meja, duduk dengan kaki membentuk 90 derajat. Biar postur tubuh tetep sehat.

Pertanyaannya emang ada makhluk Allah yang baca novel dengan gestur model gitu?

Lagian baca novel dengan style rebahan adalah salah satu nikmat yang sedap. Itung-itung hiburan selama sibuk kuliah dan ngurus rumah. Dua bulan nikah sama Mas Putra, aku udah belajar banyak tentang dia. Termasuk kebiasaannya mandi lamaaa banget. Tapi aku suka kalau masuk kamar mandi abis dia gitu, seger. Dua bulan juga aku belajar banyak tentang Anna. Ternyata ngga mudah, hyung. Padahal masih ada ibu yang sering bantu aku jaga Anna. Tapi masih aja keteteran.

"Besok ujianmu jam berapa?" Aku menoleh ke Mas Putra yang beranjak berdiri sambil ngeregangin badan abis submit soal ujian. Aku lihat tadi pas naruh teh susu buat dia, dan gemes pingin nyomot tuh soal. Tapi dia bukan dosenku. Coba aja aku mahasiswanya, satu beban hidupku akan hilang.

"Satu matkul, jadwal 1-4 aja."

"Oh, iya udah. Nanti aku antar pulang dulu."

Dia mulai ngomong lebih santai gini memang aku yang minta. Santai ya? Engga juga, masih kagok rasanya. Paling ngga bukan saya gitu, loh. Berasa ngomong sama dosen sendiri.

"Ngga usah, mas. Besok aku mau jalan-jalan dulu sama Denisa. Hmm, boleh ya?"

"Kan masih pekan UAS. Bagusnya sih cepet pulang, istirahat, terus belajar."

"Bentar doang."

"Oke okee. Pulang ngga lebih dari jam 3."

"Jam 5 deh."

"Nggak, jam 3. Atau ngga usah pergi sama sekali." dia mengambil novelku dan meletakkannya di nakas. Lalu menarikku untuk tidur ngadep dia.

"Kamu tuh kalau dibilangi terus nurut gitu, susah ya?"

"Ya kan usaha dulu. Negosiasi. Kalau boleh alhamdulillah. Kalau ngga boleh..."

"Ya ngambek. Lagu lama."

"Sok tau." sungutku sambil natap wajahnya.

"Tau lah." ucapnya sambil tetap mejamin mata dan memelukku lebih erat. "Udah, cepet tidur, Lin."

"Aku tuh belum ngantuk. Masi jam 10 juga." eh yang diajak omong udah merem aja. Mana ini dipeluk gini, akunya masi ngga ngantuk. Pingin ambil novel dulu biar mata ngantuk terus tidur gitu. Tapi ga bisa. Posesif banget, sih. Kadang aku masih bertanya-tanya kenapa Mbak Rasya minta Mas Putra nikahin aku. Dengan tampang yang oke gini rasa-rasanya banyak yang mau sama dia. Maksudku, kenapa bisa kepikiran adiknya gitu loh.

"Ga usah liatin aku segitunya." ucapnya dengan mata masih merem. Oh dia tadi belum tidur. Astaga, horor kalau tiba-tiba tadi aku kelepasan. Aku kan impulsif banget anaknya.

"Pede amat sih."

"Ga apa-apa juga. Liatin muka suami dapat pahala. Apalagi kalau..." tiba-tiba dia natap aku lekat banget. Wah mak, takut! Masih aja deg-deg an kalau diginiin. Walau dia ngasih jaminan nunggu aku siap, ya aku tau juga kalau pas pagi itunya sering gitu kenapa. Tapi jujur pas pertama lihat agak kaget. Kaget banget malah. Secara selama aku ini cuma tau secara teori aja di sekolah dan samar-samar dengar candaan anak cowok kelas.

"Apa an sih?" tapi kayanya dia sama sekali ngga rewes pertanyaanku. Sampai aku ngerasain dahinya nyentuh dahiku. Hidungnya menggesek-gesek halus hidungku. Hangat nafasnya terasa ke wajahku. Pipiku menghangat. Aku ngga tau gimana keadaan wajahku sekarang. Kaya tomat atau kepiting rebus seperti yang biasanya diceritakan di novel. Yang pasti lenganku mulai merinding dan perutku mulas.

"Kamu cantik banget, sih?" deru nafasku mulai bergetar. Mataku seketika memejam. Takut. Rasanya otakku blank. Menikmati kedua tangannya yang mengusap-usap ringan garis rambut di pelipisku sambil memainkan anak rambutku.

"Mas..."

"Hmm?" suaranya jadi agak berat. Oh, tidak. Aku udah ga bisa mikir apa-apa lagi. Kecuali kemungkinan dia akan menciumku setelah ini dan bercumbu untuk malam ini. Aku siap sih, tapi ngga sepenuhnya. Ini udah 2 bulan. Aku udah lumayan ngerasa nyaman sama Mas Putra. Ngga ada perlakuannya ke aku yang tercela seperti contoh perilaku tercela di pelajaran IPS waktu SD. Tapi kan masih sebagian, ya tadi. Sebagiannya lagi aku takut dan... malu. Malu mesti ngapain. Karena aku ngga pernah pacaran atau bahkan ciuman.

Sampai aku ngerasain ada yang berubah. Usapannya di rambutku berhenti. Wajahnya tak lagi menyentuhku. Aku masih bertanya-tanya, kenapa. Tapi mataku masih setia menutup.

"Maaf." ha? Aku mendengar suaranya. Kecewa? Atau sedih? Maaf untuk apa?

Aku melihat matanya yang masih setia menatapku. Aku ngga bisa mengartikan tatapan itu. Mungkin benar dia kecewa. Sampai aku menyadari sekarang aku nangis. Kututup wajahku dengan kedua tangan.

Mungkin aku takut karena tadi sangat mendadak. Percakapan mengenai izinku jalan-jalan bersama Denisa berubah jadi... ah, gatau itu apa. Atau aku kecewa pada diriku yang masih ngga bisa sepenuhnya menerima Mas Putra sebagai suamiku. Jujur bedanya setelah menikah ngga begitu terasa. Rasanya hanya pindah rumah dan menemui orang yang ngga tiap hari aku liat at least 24 jam. Mas Putra dan Anna. Sama Mas Putra alih-alih aku merasa jadi istri, malah lebih terasa seperti adik.

"Lin, maaf. Aku..." ada hela nafas di tengah ucapannya. "...maaf, Lin. Aku lose control."  Aku masih menikmati tangisku. Bingung mau berhentinya gimana. Sampai aku mendengar suara pintu kamar terbuka.

"Kenapa, sayang?"

"Pingin poop, yah." Segera aku mengusap air mataku. Bersamaan dengan gerak kasur akibat Mas Putra beranjak berdiri.

"Ayo, sini!"

Keduanya berjalan ke kamar mandi. Sayup-sayup aku mendengar percakapan bapak dan anak itu. Ngga jelas, tapi cukup untuk masuk ke telingaku akibat gema kamar mandi. Sampai mataku kian terasa berat. Suara-suara itu menghantarkan ku tidur.

Ternyata kali ini bukan lagi novel yang bisa bikin aku ngantuk. Terus apa dong?

.
.
.
.
.

Yuk yuk vote sama comment nya aku tunggu. Mau lanjut ngga nih? hihi:' Aku tunggu 30 vote dulu, deh😉

RalineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang