2

4.6K 247 11
                                    

🌼Jangan lupa vote dan komen yaa:D

Dan di sinilah kami sekarang dengan meja yang hampir dipenuhi pizza dan rakyatnya. Bukan aku yang memilih yaa, mentang-mentang ini gratis hehee. Tapi bocil yang nagih ke bapaknya ini yang milih. Sedang aku lagi menata hati biar tetap tenang tampilannya.

"Nte, Anna gamau ini.", sambil menodongkan pinggiran keju padaku.
"Ini enak Anna, kok gamau sih?"
"Asin, gasuka. Enak cosisnya.", jawabnya nyengir.
"Lin, ini nanti buat dimakan di rumah." Mas Putra memberikan 2 kotak pizza ke hadapanku.
"Lah, kan udah mas. Ini aku udah kenyang."
"Siapa bilang buat kamu aja. Ini buat ibu sama bapak. Kalau kamu masih mau ya nanti makan lagi.", hih... ngomong ga jelas bikin aku malu.
"Anna, pulang yuk!"

Sembari mengemudi, Mas Putra mewawancarai Anna tenang kegiatannya di KB (Kelompok Belajar) nya pagi ini.
"Hmm, ga enak yah. Tadi ada bu dokter ke sekolah. Terus Anna dikasih obat warna merah. Rasanya ga enak.", oh vitamin A mungkin maksudnya. Aku juga punya pengalaman ga enak sama vitamin yang dikasi bidan dulu. Eneg, penegen muntah.
"Itu biar Anna sehat. Kalau sehat nanti sekolahnya seneng." timpal Mas Putra.

Aku orang ketiga, aku diam. Tidak mau merusak perbincangan asik mereka, aku memilih melihat langit Surabaya yang mulai berwarna orange sambil memangku Anna. Disamping itu aku tidak mau terjebak di situasi yang canggung dengan Mas Putra.

Aku tidak tahu, sejak semalam keluarga Mas Putra ke rumah aku merasa ada hal yang aneh kalau bertemu dengannya. Daripada dibilang cinta mungkin kini aku lebih merasa kagum. Mas Putra memiliki karir yang mentereng. Kami ada di kampus dan fakultas yang sama. Tapi dia mengajar di jurusan Akuntansi sedang aku Ekonomi Pembangunan. Perawakannya yang berwibawa dengan wajah yang lumayan tampan, tentu mataku tidak memungkirinya. Kalau aku bilang wajahnya hampir seperti Vino G. Bastian. Dia juga terlihat penyayang dibalik kalau orang asing sepertiku melihatnya sebagai orang yang kaku. Nyatanya Mbak Rasya menetapkan hati pada Mas Putra hingga akhir hayatnya. Kakakku yang kalem dan sholihah, meninggal saat melahirkan putri kecilnya, Anna. Bagaimana kalau sebenarnya Mas Putra masih mencintai Mbak Rasya? Karena selama 3 tahun kenapa dia tidak mencari istri. Kalaupun dia mau pasti banyak kan yang mau sama dia?

Tapi bahan insecure ku tidak sampai disitu. Mas Putra sudah 30 tahun dan aku September depan akan 21 tahun. Misalkan nih, misalkan kami menikah apa aku bisa ngimbangi cara pikir dan tindakan dia. Aku takut semakin membebani dia dengan kelakuanku yang masih kekanak-kanakan. Dan... aku tidak ada pengalaman menjalin hubungan. 20 tahun aku hidup aku hanya pernah putus sekali, dengan plasentaku.

Lama aku bergelut dengan pikiranku, ternyata Anna tertidur dengan memegang hadiah dari tempat makan tadi. Kupeluk lebih erat tubuhnya, mungkin dia capek siang tadi tidak sempat tidur

"Lin..."
"Ya, mas?", aku menoleh ke arahnya.
"Yang semalam, gimana?"
Hah? Semalam? Lamaran semalam maksudnya? Dia minta jawaban apa gimana, nih?
"Maksudnya mas?"
"Kamu mau jadi ibunya Anna?"
Eh, wait... Kenapa dia sekarang kesannya menodong jawaban, bukannya dia sendiri yang bilang nunggu sebulan?
"Hmm, ga tau mas. Aku masih belum dapet jawaban finalnya gimana."

"Apa yang kamu pikirin?", apa ya? Ditanya gini jadi bingung.
"Mas Putra kenapa milih aku?"
"Tidak ada alasan khusus, Raline. Karena kamu adik ibunya Anna, saya rasa kamu akan lebih mudah untuk mengasuh Anna."
"HAH? Cari baby sitter aja kalau gitu. Mas ga perlu susah-susah buat nikahin aku.", tersentil egoku demi apa dia mikir gitu. Sia-sia overthinking ku barusan. Dia cuma mau cari orang yang jagain a-n-a-k nya. Bukan karena sesuatu dia milih aku, gitu?

"Saya sangat menyayangi Anna. Maunya saya, dia tetap dekat dengan keluargamu juga. Ibu dan bapak tentu ingin dekat terus dengannya juga. Raline...", jelasnya sedikit terjeda. Rautku masih menatapnya dengan sengit.
"lebih dari sekedar itu saya tau dari cerita almarhumah dan selama saya lihat kamu, kamu wanita yang paling pas untuk menjadi istri saya. Saya tidak menampik kalau sejujurnya hingga saat ini saya belum cinta sama kamu. Saya masih menganggapmu adik saya. Tapi saya tau kamu orang yang baik dan menyayangi Anna dengan sepenuh hati. Keyakinan saya, insyaaAllah saat kita bisa menjalani rumah tangga saya bisa jaga kamu dan Anna. Saya tetap bisa berhubungan baik dengan bapak dan ibu yang sangat saya hormati. Kalau saya mau, sejak tiga tahun lalu saya sudah menikah dengan wanita lain. Tapi belum tentu saya dapatkan semua itu.", mataku mulai menggenang. Kalau udah bawa bapak ibu gini aku paling ga bisa. Pinter banget nih dosen.

Mati kutu, aku menunduk sambil memandang Anna yang lelap dalam tidurnya. Bagai orang yang diwawancara pas oprec an Mas Putra ini punya visi misi yang jelas.

"Tapi Raline masih belum sedewasa itu untuk memenuhi keyakinan Mas Putra kalau Raline bisa jadi ibu yang baik buat Anna. Raline masih kekanak-kanakan, ceroboh, gabisa ngurusin rumah, dan..."
"Ngambekan.", tembaknya memenggal ucapanku.
"Ih, nggak ya."
"Itu contohnya.", aku membuang nafas kasar.
"Raline, saya tetap berharap untuk bisa menjadikanmu istri saya. Ibu untuk Anna dan anak-anak kita nanti. Meski kamu ngambekan, saya akan terus mencoba untuk bisa jadi versi terbaik saya. Dan saya yakin kamu juga begitu, memperbaiki diri sepanjang nanti kita menjalani hubungan."

Aku diam hingga sampai di depan rumah. Masih tidak beranjak turun dari mobil.
"Besok kamu kuliah jam berapa?"
"Jam 8.", jawabku lesu tapi penasaran juga.
"Berangkat sama saya ya? Saya jemput."
Entah luluh sebab penuturannya selama perjalanan tadi atau bagaimana aku mengiyakan permintaannya.

Lalu kami turun. Mas Putra menggendong Anna, sedangkan aku membawa 2 box pizza tadi. Tidak lama Mas Putra pamit pulang, biar ga kelewat maghrib katanya. Rumah Mas Putra masih satu kecamatan dengan rumahku. Sedangkan rumah orangtua Mas Putra ada di Blitar. Anna biasa tidur di sini. Biasanya malam tidur di rumah Mas Putra, lalu pulang sekolah dijemput ibu atau bapak atau kadang aku kalau tidak sedang kuliah.

"Besok kita berangkat bareng ngantar Anna, ya?"
"Iya, mas.", aaaaa bapak kenapa aku jadi kalem begini...
"Selamat malam, Raline. Assalamu'alaikum", ucapnya sambil mengusap kerudungku. Gila sih damage nya, aku jadi cengo banget.

RalineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang