05. Truth

527 61 24
                                    

Annie tidak ada.

Perempuan bermata biru abu-abu di hadapannya tersenyum manis. Sudah hampir tiga puluh menit berlalu sejak ia memutuskan mendatangi rumah keluarga Annie. Ia pikir, tindakannya datang cukup bagus memberikan Annie kejutan. Yah, atau lebih tepatnya untuk orang yang tidak di respon baik oleh orang yang telat dan juga tak membalas teleponnya, tindakan Armin ini cukup nekat—atau tak sopan. Setidaknya di kadar etika miliknya.

"Ehem." Ibu Annie selesai menyuguhkan teh pesanan Armin. Selagi laki-laki yang hampir menginjak usia di kepala tiga itu melihat sudut ruangan. "Annie tidak tinggal denganku. Ia punya rumah sendiri." Kata perempuan itu, "Mungkin ia di sana."

Jadi dia punya rumah sendiri?

"Oh, berarti aku salah mengartikan maksud pesannya semalam."

Bohong. Sejak kapan Armin melihat ponsel? Kemarin setelah mandi, ia memutuskan melewati makan malam, dan memilih tidur. Tidak mau melihat ponsel lagi meski ia tahu ada pesan dari Annie. Pagi ini pun, setelah mendapatkan cuti dadakan ia nekat saja datang ke rumah Annie. Ingin memberikan kejutan yang akhirnya dia yang di bodohi perlakuannya sendiri.

"tres embarrassant." gumam Armin. Yang membuat Ibu Annie menaikan alis. "Ah tidak, maaf atas bahasaku yang aneh."

Ibu Annie tertawa. "Tak apa. Omong-omong, aku tidak tahu kalau cucu dokter Arthur sangat tampan." ujarnya dengan muka bersemu. "Aku terkejut sekali."

Armin tersenyum sambil menyesap tehnya. Teh yang menurut Armin lebih mirip air gula.

"Jadi putriku mensetujui perjodohan ini?"

Armin mengangguk ragu. "Kami akan mencobanya terlebih dahulu."

Ibu Annie tertawa kecil. Tawa yang menurut Armin sangat anggun sekali. Ia bertanya-tanya apakah Annie menurunkan tawa Ibunya? Mengingat rambut pirang dan mata biru miliknya adalah turunan Ibunya. Tapi mari menikmati diri untuk mengenal Wanita di hadapannya ini. Mana tahu ia bisa mengumpulkan informasi.

"Apa saya boleh tahu darimana anda mengenal kakekku?" tanya Armin dengan nada sopan.

Ibu Annie terlihat berpikir. Mungkin ia sedang mengingat. Dan Armin menunggu. "Bisa di katakan bahwa kami adalah mantan pasiennya?"

Armin mengangguk mengerti, meski dalam hati ia mendengus. Ia bahkan baru tahu kakeknya dokter veteran. Ia cuma tahu kakeknya suka wara-wiri tak jelas setelah pensiun dari pasukan sukarela di perang kedua. Seharusnya ia lebih peka soal ini, peka kenapa kakeknya bisa menghidupinya dengan sangat baik di negara sekelas Inggris.

"Ah pasien..."

"Hanya keluarga dari pasien yang ia rawat kok. Pasien aslinya suamiku. Suamiku dulu di tolong oleh kakekmu." ucapan Ibu Annie membuat Armin mengerutkan alis. Tertarik ingin tahu. "Suamiku meninggal karena penembakan salah satu pencopet amatir. Ia mencoba menghentikan teman pencopet itu, tapi malang, ia malah tertembak oleh pencopet satunya." ada nada getir di sana. Dan Armin merasa bersalah.

"Maafkan saya, mungkin anda tidak perlu—"

"Ah tidak apa, aku sudah lebih baik kok." jawab Ibu Annie sambil menepuk bahu Armin. Mencoba menenangkannya yang terlihat panik. "Saat itu, kakekmu adalah salah satu penolong nyawa suamiku meski pendarahannya tak bisa berhenti juga." katanya lagi di iringi senyum getir. Armin yang melihatnya semakin tak enak. Suasana di ruang itu berubah menjadi suram.

"Baiklah, cukup nostalgianya."

Armin dan Ibu Annie sontak melihat ke arah pintu. Terkejut karena mendapati Annie di sana dengan hoodie abu-abu dan rambut di gerai basah. Armin melirik ke luar jendela, sejak kapan hujan turun?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hello PreciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang