02. What The Hell?

917 136 41
                                    

"W-wanita barbar!"

Annie memutar bola matanya. Armin masih menatapnya tak percaya. Isi kepalanya terus mengalir kata-kata yang tak bisa diucapkan oleh bibirnya. Frustasi, Armin membalikkan tubuhnya dan menjabak rambutnya kuat. 

"Apa? Kenapa? Dari seluruh perempuan yang ada di dunia, kenapa harus wanita barbar ini?!"  jeritnya di dalam hati.

"Waktuku tak banyak, kepala jamur." ujar Annie datar, "Aku ada urusan di Batalion, jadi kau ingin kita bicara di sini—disaksikan banyak orang—atau ke ranah yang lebih privasi?"

Armin berbalik, ia mengerutkan alis. "Apa katamu? Kepala jamur?!"

Annie menghela napas kasar. Seolah sudah tak tahan dengan tingkah laku Armin. "Terserah kau saja." Annie bersiap pergi, tapi tangan Armin lebih dahulu menahan. Lelaki itu menarik pergelangan tangan Annie cepat.

"Tak b-bisa, k-kita bicara dulu." ujar Armin dengan wajah terpaksa.

Dan Annie tidak menolak.

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

"Fotografer, huh?"

Annie melihat buku menu yang ada dihadapannya tanpa minat. Ia benar-benar belum lapar lagi setelah memakan roti isi yang sempat dibuatkan oleh Krista tadi pagi. Lagi pula nafsu makan yang alih-alih ingin ia lakukan demi menghargai laki-laki dihadapannya ini sudah lebih dulu menguap. 

Entah kesialan apalagi setelah ini yang akan datang menghampirinya.

"Kau membohongi kakekku? Kenapa tidak kau katakan saja soal profesi aslimu? Kau—"

Annie menghela napas tipis saat disalahkan. Laki-laki dihadapannya ini benar-benar tidak berubah. Masih suka mendramatisir dan pastinya masih menyebalkan. Annie mengangkat tangannya, dengan segera pelayan datang dan Annie memesan segelas teh melati kepada pelayan. Dan ketika sudah memastikan si pelayan pergi, Annie kembali menatap Armin yang membalas menatapnya dengan pandangan kesal.

Annie tahu tatapan itu. Tatapan kesal karena diabaikan, dan ucapannya di potong begitu saja. Mimik wajah Armin benar-benar tidak berubah.

Ah, sialan... Annie merutuki dirinya karena masih saja mengingat pola tingkah laki-laki berambut pirang ini.

Annie membalas tatapan Armin. Lelaki itu tak lagi bicara. Annie menyandarkan punggungnya, kemudian dengan suara santai, ia berkata. "Baiklah, aku juga tidak tahu kalau laki-laki yang dijodohkan denganku adalah seorang pengacara ternama di London."

"Kau berdusta!"

Annie menatap Armin datar, "Terserah kau sajalah."

"Kau—"

Hello PreciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang