POV : Armin Arlert

1.2K 145 17
                                    

Prolog.

"Apa tadi katamu?"

"Dijodohkan."

"Menikah?"

Laki-laki berkacamata putih bening itu menghela napasnya, "Iya, akan menikah."

"Dengan?"

Ia membuka kacamatanya dan memijat pelipisnya dengan perlahan. "Aku tidak tahu siapa. Tapi kata kakek, dia seorang fotografer." ujarnya sambil menaruh kacamatanya di atas laptop berwarna emas.

Di samping laptop tersebut penuh dengan tumpukan-tumpukan kertas tebal yang sebagian di tandai dengan beberapa stiker warna-warni untuk mengetahui kasus-kasus serta penempatannya di tempat khusus. Helaan napas terdengar dari seberang telepon miliknya. "Kau masih disana, Eren?"

"Ya." balas seberang telepon. "Jadi, bagaimana pendapatmu soal ini, Armin?"

Armin menatap keluar jendela ruangan miliknya yang terbuka lebar dengan pandangan kosong.. "Entahlah. Jujur, aku tidak setujuh." Alis Armin kemudian mulai mengkerut memikirkan soal perjodohan sepihak ini "Tapi jika aku menolaknya, kakek pasti akan kecewa. Cuma-kau tahu, aku tak bisa menikah dengan orang yang tak pernah kukenal."

Hening sejenak. Seolah-olah dua manusia yang saling menempelkan ponsel di telinga itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

"Kau sudah mengungkapkan isi hatimu ini?" ujar Eren.

"Aku... tak berani."

"Kau masih saja memendam." Terdengar helaan napas berat dari Eren. "Dengar Armin, kau seharusnya berhenti memendam sesuatu dan bicarakanlah baik-baik pada kakekmu. Kau itu sudah hampir berkepala tiga, tapi untuk mengungkap sesuatu dengan kakekmu saja sulit sekali."

"Mungkin karena kakek sudah terlalu tua, Eren. Dan keinginannya hanya ingin melihat aku menikah." bela Armin kemudian.

"Omong kosong. Kalau kau tidak mau, kenapa harus di paksa?"

Armin memilih diam saja kali ini. Perkataan Eren benar. Tapi, apa sanggup ia menolak di saat ia tahu kalau itu cara membahagiakan kakeknya?

"Hei Armin, ayolah. Ini bukan zaman dimana semua harus di atur oleh orang tua, kita generasi berbeda dengan zaman mereka! Katakan itu kepada kakekmu!" ujar Eren menggebu di seberang telepon.

Armin menunduk, melihat ujung sepatunya yang runcing dan mengkilap. "Entahlah. Tapi aku hanya tidak ingin membuatnya kecewa-terlebih lagi jika membuatnya terluka atas isi hatiku-jadi lebih baik aku memendamnya saja."

"Demi Tuhan, kau pengacara terkenal di London, Armin! Keahlianmu dalam menganalisis suatu masalah, memecahkannya, dan menyimpulkannya bisa kau lakukan dengan luar biasa! Di meja hijau tidak ada yang berani mencegat ucapanmu yang tajam itu! Tapi bisa-bisanya, hanya ngomong dengan kakekmu saja, kau tidak bisa?!"

"Memang nyatanya aku-"

"Kau payah! Biar aku yang mengatakannya pada kakekmu."

"Jangan Eren! Jika kau berani coba-coba aku akan-"

"KALAU BEGITU BILANG! JANGAN DI PENDAM TERUS! NANTI LAMA-LAMA KAU SAKIT JIWA!" ujar Eren dengan nada keras yang menggebu dengan kekesalan di ujung telepon. Laki-laki itu memang penuh tempramen, tapi lucunya Eren bisa menjadi seorang Dokter dengan sifat penuh tempramental seperti itu.

Tapi yah, Armin juga bukanlah orang yang bisa bersabar selamanya.

"Justru karena itu! Aku hanya tidak mau membuatnya terluka atas ucapanku, Eren!" ujarnya dengan nada tak kalah keras dari sahabat kecilnya itu. "Bagaimana kalau jantungnya kumat?! Demi Tuhan, aku tak sanggup kembali melihatnya berbaring lemah tak berdaya di ranjang rumah sakit karena kelakuanku atau bahkan akan terjadi hal yang lebih buruk karena membahayakan nyawanya!"

Hello PreciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang