03. Everything Will Be Alright?

1.1K 117 60
                                    

"Kau baik-baik saja, sobat?"

Armin tersadar dari lamunannya. Namun, ia memilih untuk tak merespon. Terdengar suara helaan napas bersamaan, dan lambaian tangan tepat di muka miliknya. Armin memejamkan mata, dan mengambil napas. Ia menatap Eren dan Mikasa bergantian, sebelum akhirnya menggeleng. Eren dan Mikasa saling bertatapan dan kembali fokus menatap Armin yang mulai mengerang frustasi.

"Apa aku akan baik-baik saja?"

Eren menyenggol bahu Mikasa. Meminta agar perempuan itu berbicara atau memberi nasihat.

Hari ini, mereka bertiga sengaja berkumpul saat makan siang di Rumah Sakit dimana Eren dan Mikasa sedang melaksanakan KOAS di Canterbury. Canterbury sendiri adalah sebuah kota di timur Kent di wilayah Tenggara Inggris. Dari London ke Canterbury hanya memerlukan waktu kurang lebih sekitar satu jam saja dengan kereta. Dan Armin yang biasanya libur di akhir pekan, selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi mereka karena ingin saja menghabiskan waktu, atau berkonsultasi mengenai sesuatu seperti sekarang ini. Begitu pun jika Eren dan Mikasa ada waktu. Mereka sebisa mungkin bertemu sekali sebulan.

Ketika Armin datang tadi, ia sudah menceritakan sepenuhnya pada Mikasa tanpa menunggu Eren. Eren sendiri sudah tahu perihal siapa yang dijodohkan Armin tadi malam. Sebab, laki-laki pirang bermata biru laut itu langsung menelponnya dengan suara panik, dan bergetar. Eren sendiri pun sadar, ia tak bisa berbuat apa-apa selain mendengar cerita Armin melalui telepon. Apalagi ketika Eren mengetahui perempuan yang dijodohkan oleh kakek Armin adalah Annie Leonhart. Eren semakin benar-benar tak tahu harus berkata apa.

"Annie bukan seseorang yang menyerang orang lain jika tidak ada alasan." ujar Mikasa akhirnya, "Mungkin dia sudah berubah, Armin."

Armin menatap Mikasa dengan mata nanar. Kemudian menatap Eren yang mengangguk semangat. "Semua orang bisa berubah dalam semalam, apalagi bertahun-tahun?" ujar Eren menyemangati. "Di coba dulu saja, lagipula dia tak seburuk itu."

"Tak seburuk itu?" tukas Armin sambil menatap sahabat baiknya itu dengan tatapan kesal. "Kau lupa apa yang terjadi denganku terakhir kali ketika bersamanya, Eren?"

Eren mengejapkan mata. "Y-yang mana?" kemudian ia melirik Mikasa mencoba mencari penjelasan.

"Yang Armin di banting hingga masuk rumah sakit, karena membela Jean."

"Kau sendiri tahu, aku harus di rawat karena keretakan punggung setelah itu." lanjut Armin, sambil memainkan sedotan minumannya. "Jadi kalau misalnya aku menikah dengannya, dan kemudian kami bertengkar. Bagaimana jika dia membunuhku?"

Eren terlihat berpikir sambil menggaruk tekuk lehernya. Tak tahu mau berkata seperti apa lagi demi meyakinkan Armin. Ia pun mendengus kasar dan meneguk air mineralnya. Manik hijaunya berkilat-kilat menatap Mikasa untuk berbicara.

Tatapan di sambut, Mikasa berkata dengan suara datar tapi penuh penegasan. "Kau laki-laki, Armin. Kau hanya perlu menunjukkan kau lebih kuat darinya."

Armin mendekatkan tubuhnya ke Mikasa, "Mikasa, kau..." ia kemudian tak ragu menatap Mikasa dengan tatapan kesal, "Kau berkata seperti itu karena kau tidak tahu rasanya, atau karena kau sedang meledekku karena bertindak sebagai pengecut?"

Giliran Mikasa yang mengerutkan alisnya. Entah kenapa ketika mendengar tuturan Armin, ia malah terdengar seperti orang yang jahat kepada sahabat baiknya sendiri. Mikasa jadi merasa bersalah. Yah, jujur saja, Mikasa tak mau jika Armin menganggapnya begitu buruk dalam menilai sahabatnya sendiri. Meski, memang apa yang di lontarkan Armin tadi benar. 

"Bukankah kau ikut thai boxing?"

Eren menepukkan tangan, "Nah iya! Kau tinggal menghajarnya saja lagi kalau dia macam-macam. Kan—"

"Aku sudah keluar."

"Why?"

"Aku benci harus membuat tubuhku capek dan berkeringat."

"Ya Tuhan."

...

Hening.

Tidak benar-benar hening. Meski ini akhir pekan, kantin Rumah Sakit tetap memiliki pengunjung meski tidak padat seperti hari biasa. Suara-suara berisik terdengar meski samar. Dan entah bagaimana, samar-samar dari orang lain menjadi begitu memekakkan telinga karena ketika Mikasa memutuskan menyesap es kopinya tanpa berniat kembali bersuara. Eren sendiri mulai sibuk mendebatkan mengenai 'kejantanan pria terletak di kekuatannya' kepada Armin yang hanya menutup telinga dan pura-pura tak melihatnya.

Mikasa mengalihkan pandangannya. Tak berniat melerai karena sudah terbiasa dengan dua orang yang berisik ini sejak kecil. Mata hitam gadis itu menatap ke arah jalanan. Alisnya mengernyit saat melihat seseorang tak asing. "Armin, bukankah itu kakekmu?"

Armin dan Eren serempak menoleh ke arah yang di tunjuk Mikasa. Mereka saling pandang saat melihat lelaki tua yang memang suka berpergian—meski sudah di usia tua harus beristirahat penuh di rumah—tengah berbincang dengan seorang yang baru mereka bicarakan. Tampaknya mereka baru saja menyelesaikan obrolan di sebuah kafe yang memang berdekatan dengan Rumah Sakit.

"I-itu Annie?" ujar Eren menatap Armin kemudian. Mata hijau laki-laki itu berkilat kagum. "Dia makin cant—AWWW!" Eren hendak protes saat Armin memijak kakinya. Tapi ia urungkan saat melihat muka Mikasa yang menatapnya dengan tatapan membunuh.

"Kau ingin kita menyapa?" tawar Mikasa ketika berhasil 'menjinakkan' Eren.

Armin menggeleng. "Aku tak membalas pesan atau kembali menelpon kakek sejak kemarin."

"Kenapa?"

"Karena aku ingin dia sadar bahwa aku marah, dan menolak perjodohan ini."

Eren menghela napasnya. "Kau kan bukan anak kecil lagi, Armin. Kenapa kau melakukan hal kekanakan seperti itu?!" ujar Eren sambil memijat pelipisnya. "Kau kan hanya tinggal bilang kalau kau tak mau menikah. Beres, kan? Lebih dewasa lagi—"

"Ha ha... Lihat siapa yang bilang orang lain kekanakan, di saat tidur malam saja masih harus di temani lampu tidur." cibir Armin kemudian.

"HAH?! Kau kira tidak ada orang dewasa yang tidur dengan lampu menyala? Apa kau tidak tahu Nyctophobia?!"

"Nyctophobia? Kau punya phobia Eren? Bukankah kau selalu mengatakan bahwa kau adalah orang yang tak punya rasa takut?"

"APA—"

"HENTIKAN!" ucap Mikasa dengan sedikit keras, yang sukses membuat dua orang yang sedari tadi menjadi perhatian diam. Armin dan Eren melihat sekeliling dan menyembunyikan muka mereka karena sudah mendapatkan kikikan maupun gelengan dari orang-orang di sana.

Namun yang membuat Mikasa menghentikan aksi mereka adalah takkala matanya bertemu dengan mata biru langit Annie. Perempuan itu sepertinya juga merasa tertarik dengan keributan yang berasal dari Eren dan Armin.

"Armin, mereka menatap kita."

Armin dan Eren serempak menoleh. Benar, sang kakek maupun Annie tengah menatap mereka. Kakek Armin tersenyum ketika Mikasa memberikan hormat, sementara Eren memberikan lambaian kikuk. Lelaki tua itu terlihat kembali mengobrol lagi kepada Annie singkat, kemudian mereka berpisah. Kakek Armin datang mendekat dan memberikan Eren dan Mikasa pelukan hangat bergantian setelahnya.

Alih-alih datang ikut menyapa para temannya, Annie justru segera menjauhi area tersebut.

Tentu, pandangan itu tak lepas dari penglihatan Armin.

Dan entah kenapa, ada perasaan yang mengganjal dihatinya. Namun Armin tak berbuat apa-apa, hingga punggung milik Annie menghilang di parkiran yang tak jauh dari sana.

.

.

.

A/N : Saya minta maaf, karena baru bisa melanjutkan cerita ini lagi setelah sekian lama. Terima kasih atas apresiasinya kepada cerita saya. See you next chapter!

Hello PreciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang