Happy Reading
**
Daffa dan Daffi saling pandang kemudian membuang muka. Kedua kembar itu seperti orang dungu di antara kelima lelaki yang berada di sana.
Suasana kamar dengan dominan berwarna coklat hitam itu terasa sunyi. Semua orang yang berada di sana hanya berdiam kaku dengan pikiran masing-masing.
"Butuh Dokter Frans?" Tanya Om Dimas kepada Lintar yang tengah duduk di pinggiran ranjang.
Lintar menggeleng, kepalanya masih terasa pusing. Untunglah tadi Daffi mengunjungi kamar Lintar karena ingin mengajak keluar bersama, jika tidak mungkin Lintar sudah demam akibat tergeletak terlalu lama di lantai kamar mandi yang dingin.
Kakek Agusto menggerakkan kursi rodanya menggunakan remot yang berfungsi untuk mengontrol sendiri tanpa bantuan orang lain. "Kamu berbicara dengan siapa kali ini?"
"Sagar. Dan tiba-tiba Tama."
Om Dimas berjalan mendekat kemudian duduk di samping Lintar. "Bagaimana kamu tahu Sagar sudah melakukan sesuatu, sedangkan kamu tidak mengingat dengan apa yang Sagar lakukan?"
Lintar menoleh, tatapannya tertuju pada jaket hitam yang tergeletak di samping pintu kamar mandi.
Daffi mengambil jaket itu dengan cepat, tiba-tiba saja kepalanya terasa pening dengan perut yang bergejolak ingin memuntahkan sesuatu. Jaket itu berbau darah, walau samar. Daffi akhirnya kembali meletakkannya di tempat semula.
Kakek Agusto mengangguk mengerti, kemudian menatap Om Dimas dengan serius. "Rekaman CCTV sudah kamu simpan?" Tanyanya kepada Om Dimas.
"Sudah ,Pah." Jawabnya dengan tegas.
Setelah insiden penusukan itu para satpam melapor kepada sekretaris Om Dimas. Sekretaris Om Dimas yang memiliki sifat profesional tentu saja memberitahu berita tersebut kepada Bosnya sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.
Om Dimas tentu terkejut, tiba-tiba saja pikirannya tertuju kepada keponakannya yang mengetahui perihal Satpam yang menjadi mata-mata di perusahaan. Dan dugaannya benar.
Om Dimas meluncur ke tempat kejadian sekaligus mengambil rekaman CCTV sebelum penjaga CCTV mengecek lebih dalam. Walau tidak mungkin berita Lintar yang mencelakai satpam itu tersebar luas.
"Apa yang Sagar bicarakan?"
Lintar mengusap wajahnya kasar. "Cari tau siapa Pak Goro."
Kakek Agusto diam, mengingat apakah ia pernah mendengar atau mengenal nama itu. "Nama yang asing. Tetap kumpulkan data-data itu cucu ku," Kakek Agusto berlalu keluar dari kamar Lintar.
Daffi mendengus, menyenderkan tubuhnya pada sandaran sofa. "Kakek sakit enggak sakit tetep aja keliatan sehat. Coba liat, pakek kursi roda yang ada remotnya aja udah kaya punya kaki baru."
Om Dimas menggeleng mendengar ucapan putranya itu kemudian bangkit dari duduknya. "Rekaman CCTV sudah Om simpan, dan sepertinya satpam itu tidak selamat. Kamu tenang saja, masalah ini tidak sampai ke jalan hukum."
Lintar hanya diam sampai Omnya sudah keluar dari kamar. Hanya tersisa si kembar yang masih terbengong di sana.
"Lo boleh ngerasa bersalah, tapi jangan buat lo benci sama diri lo sendiri, Tar. Kita tau ini bukan keinginan lo." Lintar mengacak rambutnya gusar.
"Ini pertama buat gue. Sebejat-bejatnya kelakuan gue, tapi gue enggak pernah kepikiran buat ngilangin nyawa orang."
Daffa mencengkram kerah baju Lintar, wajahnya terlihat geram melihat Lintar yang seperti putus asa. "Jangan salahin diri lo, anggap aja lo enggak ngelakuin apa-apa. Lo enggak ingat sama apa yang Sagar lakuin. Sadar, anggap itu bukan lo yang ngelakuin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintar 2
Teen FictionSatu lagi jiwa lain muncul untuk menuntaskan kecelakaan kedua orang tuanya. Lintar, selain memiliki Tama, ia juga memiliki sosok tegas dan juga kejam. Matanya hitam kelam, pandangannya selalu tajam, aura intimidasi selalu ia perlihatkan. Sagar, sos...