Bab 4. Golden Hibiscus

33 8 24
                                    


Fenrir menyemburkan asap dingin bersama duri es ke arah pohon-pohon kecil di sampingnya. Tubuh Lily sedikit bergerak mundur merasakan sakit dari pohon itu, tetapi dia terus memberanikan diri memandang Fenrir. Karena tidak tega melihat muridnya, Mr. Samael menghampiri dan menepuk pundak Lily meyakinkan.

"Aku menginginkan sebuah bunga yang dimiliki oleh Dewi Asgar. Kalian harus menebak apa nama bunga itu dan membawanya ke hadapanku!"

Lily mendecak dan menyeringai. "Hanya itu? Terlalu mudah."

"Bukan hanya itu. Kalian harus kembali ke tempat ini di saat cahaya bulan sudah sempurna!"

Tunggu, apakah Lily salah berbicara? Fenrir benar-benar memberikan permainan yang sama sekali tidak dimengerti. Lily saling pandang dengan Mr. Samael. Entah itu hanyalah permainan biasa yang melambat-lambatkan tujuan mereka atau sebagainya. Cukup sulit bagi Mr. Samael memikirkan permainan dari Fenrir karena yang ia berikan bukanlah teka-teki.

"Bagaimana? Apakah kalian benar-benar setuju?"

Lily melihat ke arah Vendard dan Claryn. "Apakah kita harus menyetujuinya?"

Claryn menarik napas, mencoba menahan rasa lemah. "Tujuan kita mencari benda pusaka. Apa pun rintangannya, kita harus hadapi itu. Jika memang sangat berisiko, kita harus menerimanya dalam keadaan apa pun."

"Fenrir adalah jalan kita menuju benda pusaka. Ia hanya memberikan kita sebuah permainan dengan aturan dan bukan petualang dengan berbagai rintangan," sambung Vendard.

Mr. Samael bergerak ke segala arah meskipun Fenrir memperhatikannya. Mereka tidak peduli dan terus berembuk karena tidak mau salah ambil langkah dalam permainan tersebut.

Mr. Samael berhenti dan menatap ketiga muridnya. "Ya, Fenrir adalah satu-satunya jalan menuju benda pusaka. Ia memaksa kita untuk menjalankan pikiran dan pengetahuan tanpa harus menguras tenaga dengan berbagai rintangan."

"Kita harus yakin agar bisa mengalahkan Fenrir dengan bekerja sama!" tambah Lily.

Mr. Samael, Claryn, dan Vendard mengangguk setuju.

"Apa yang sedang kalian bicarakan?"

Suara Fenrir menyadarkan mereka. Persetan jika ia terus bertanya dan bosan menatap Tim Empat.

Mr. Samael melihat ketiga muridnya yang mengangguk dengan yakin. "Ya, kami setuju," jawabnya mewakili tim.

Di samping itu, Claryn berusaha menggerakkan tangan, tetapi tidak bisa. Apa yang terjadi dengan tanganku? batinnya.

Vendard menatap Claryn khawatir. Apa yang terjadi dengan Claryn? Ia tidak mengerti. Tangan Claryn begitu dingin saat disentuh. "Clar, bertahanlah! Aku pastikan kau akan baik-baik saja!"

"Baiklah. Tebak dengan benar dan berikan dengan tepat. Aku akan menunggu kalian di saat cahaya bulan sudah sempurna. Berjanjilah bahwa kalian akan menemuiku!"

Lily geram dengan Fenrir sehingga mengentakkan kaki. "Bukankah kami sudah setuju? Dan, itu artinya—"

"Ya, kami akan berjanji!" Mr. Samael memotong ucapan Lily.

Vendard mendecak, rasanya ingin saja dia layangkan pedang ke arah Fenrir. "Jelas saja, keberadaan benda pusaka itu hanya diketahui olehmu!"

"Sudahlah, Vendard. Gunakan pengetahuan, bukan emosi," lirih Claryn.

Fenrir memutar tubuh dengan menyemburkan asap napas dingin ke atas awang-awang dan berlari sangat cepat. Tidak peduli ia akan pergi ke mana. Tim Empat merasa lega karena Fenrir tidak lagi menyemburkan asap dingin ataupun menyerang dengan durinya.

Blue Light Stone (MAPLE ACADEMY YEAR 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang