| Maaf lanjutnya lama, huhuhu |
| Semoga suka ya! |
.
.
.
Kedua mata Kaila memicing, perempuan itu sesekali mengusap dagunya kemudian dia mendengus keras. "Ah, sial. Gue sama sekali nggak ada ide siapa kira-kira orang itu, Gi."
Gisha mengangguk sepakat. Setelah kejadian di minimarket, Gisha langsung pulang karena ketakutan. Alhasil, Kaila yang dikabari langsung panik dan menyusul Gisha.
Kaila tentu saja tahu tentang masa lalu Gisha dan traumanya terhadap lelaki, apalagi yang mencurigakan begitu.
"Tapi, Kai, menurut lo masih ada kemungkinan kalau gue parno, nggak?" tanya Gisha hati-hati.
"Maksud lo?"
Gisha mengembuskan napasnya sebelum menjawab. "Yah, semuanya cuma kebetulan aja gitu, Kai. Nggak pernah ada orang yang nguntit gue. Maksud gue, yang waktu itu gue lihat di jendela kafe dan yang gue lihat tadi hanya kebetulan aja."
Kaila berpikir sesaat. "Emang bisa aja, Gi. Tapi menurut gue, nggak ada salahnya juga bagi lo untuk waspada."
Gisha mengangguk setuju. Tentu saja sangat mungkin semuanya hanya kebetulan, walaupun Gisha sampai dibuat takut setengah mati karena kebetulan itu.
"Lo nggak ada masalah sama rentenir kan, Gi?" Kaila bertanya pelan.
"Kai!" Gisha menggeram kesal karena bisa-bisanya ide itu yang muncul di kepala Kaila.
Kaila terkekeh pelan. "Atau orang tua lo, gitu? Dari film-film detektif yang gue tonton, biasanya kalau orang jahat ada masalah sama orang lain, yang dijadiin sasaran pasti anaknya," jelas Kaila agak berbisik, sok misterius.
"Kalau orang tua gue ada utang, menurut lo mungkin gue hidup enak banget begini?"
"Iya juga," Kaila diam lagi. "Eh, lo udah bilang masalah ini sama Angkasa?"
"H—hah?" Gisha tercekat tanpa alasan. Karena terlalu ketakutan, dia sampai sempat lupa tentang kegalauannya mengenai Angkasa dan... Mauren. "Ka—kayaknya nggak perlu dulu deh, Kai."
"Hah? Apaan? Biasanya lo kepeleset di kamar mandi aja laporan sama dia, masa ada masalah begini nggak bilang?" Kaila tak terima.
Gisha berdeham. Tiba-tiba tenggorokannya terasa kering. "Yah, Asa kan masih berduka, Kai. Ditambah, yang terjadi juga kan masih spekulasi kita. Gue nggak mau dia khawatir sama hal-hal yang sebenarnya nggak perlu dikhawatirkan. Lagian kan... ada elo!" Gisha menjulurkan lidahnya pada Kaila.
Kaila tertawa keras. "Ya udah kalau menurut lo emang baiknya gitu. Tapi lo bener, ada gue. Lo tau gue akan langsung lari ke elo kalau lo dalam masalah, kan?"
Gisha mengangguk pasti. Bersyukur dalam hati karena memiliki sahabat seperti Kaila.
"Tapi, kalau hujan nggak ya."
Gisha terbahak kemudian melemparkan bantal sofa di atas pahanya tepat ke wajah Kaila. Lalu, untuk beberapa lama, Gisha melupakan orang mencurigakan itu.
***
Gisha memeriksa ponselnya sambil melihat sekeliling. Setelah dihubungi Pak Ridho kalau seniornya akan segera mengirim pesan dan mereka akan bertemu untuk membicarakan konsep awal secara keseluruhan. Gisha saat ini menunggu di kafetaria fakultasnya dengan segelas jus stroberi yang tinggal setengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Membaca Angkasa
Teen FictionKisah ini dimulai setelah Angkasa dan Gisha lulus SMA. *** Klise, tapi Gishara Aluna tahu benar kalau mempertahankan itu jauh lebih sulit dibanding mendapatkan. Apalagi sama Angkasa, dapetinnya aja susah, apalagi pertahaninnya. Begitulah yang Gisha...