Pertama, iya, diriku berdosa banget karena nganggurin cerita ini sekian purnama padahal kalian nungguin. Ayo, caci maki aku sekarang!!!
Kedua, semoga kalian masih tetap bisa menikmati membaca Angkasa ya🤍
•••
"Iya, dunia milik berdua, yang lain ngekos!"Gerutuan Dewa membuat Gisha sontak menoleh dan terkekeh. Sore itu, setelah kemarin menggelar tujuh harian meninggalnya Langit, Gisha dan Angkasa duduk di gazebo halaman belakang rumah Angkasa sambil mengobrol santai. Dengan sepiring macaroon dan gelas hangat berisi teh melati milik Angkasa dan susu stroberi milik Gisha. Seperti kata Dewa, dunia rasanya milik berdua.
"Udah tau gitu, lo ngapain ke sini?" kata Angkasa datar, membuat Gisha semakin tertawa.
"Sa, jangan galak-galak sama Dewa."
"Tuh, dengerin kata cewek lo!" Dewa kini ikut nimbrung dan duduk bersama Angkasa dan Gisha.
"Mau minum apa, Dew? Gue bawain," tawar Gisha hampir berdiri, kalau saja jarinya tak segera ditahan Angkasa, yang kemudian menariknya agar Gisha kembali duduk di sampingnya.
"Dia biar ambil sendiri aja, Gi. Kamu nggak usah repot buat Dewa."
Dewa melotot pada Angkasa, memberikan tatapan tak habis pikir. "Gi, cuma sama lo dia begitu. Lo nggak akan kenal dia deh kalo di kampus. Boro-boro megang, lihat cewek aja kayak males banget mukanya!"
Mendengar penuturan Dewa, pipi Gisha mau tak mau jadi bersemu merah.
"Idaman banget pacar gue, ya?" Bisik Gisha pada Dewa yang pastinya masih bisa didengar jelas oleh Angkasa yang langsung menarik sudut bibir.
"Bayar kosan ke siapa nih gue?" Dewa geleng-geleng kepala.
"Makanya, tumben. Ngapain sini? Lo nggak ke kampus?" Angkasa menepuk kedua tangannya setelah memasukkan sepotong macaroon rasa vanilla ke dalam mulut.
"Biasanya juga lo nggak pernah nanyain kalau gue mondar-mandir di rumah lo seharian, kunyuk! Giliran lagi ada pacar, gue diusir secara halus!" Dewa mengomel, yang Gisha tahu tentu hanya bercanda.
Obrolan mereka kemudian terhenti begitu ponsel Gisha bergetar. Ponsel yang tergeletak begitu saja di gazebo itu menyala dan menunjukkan sebuah nama yang langsung terbaca oleh Angkasa dan Dewa yang secara refleks menoleh.
Kak Brian
"Bentar, ya." Gisha meraih ponselnya kemudian berdiri, mengambil langkah tak jauh dari gazebo dan mengangkat panggilan masuk itu.
"Biasa aja, biasa." Dewa terbahak melihat mata Angkasa yang menatap tajam tak lepas dari Gisha yang kini tengah bicara di telepon.
Angkasa menghela napas berat. "Gue harus buru-buru lulus kayaknya."
"Astaga, si kunyuk, baru semester 4!" Dewa menggeleng tak habis pikir.
"She's too precious to be left alone." Angkasa berkata datar, tapi tak bisa menyembunyikan ketulusan dalam suaranya.
Dewa berdesis. "Lo juga."
"Hah?"
"Lo juga too precious to be left alone, Sa."
"Idih, kalo lo yang ngomong, najis banget gue."
Dan tawa Dewa meledak, diikuti dengan kembalinya Gisha di antara mereka.
Gisha menatap Angkasa dan Dewa bergantian, entah kenapa, kedua lelaki itu menatapnya seperti dia adalah tersangka kejahatan yang mau diinterogasi.
"Kenapa?" tanya Gisha pelan, hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Membaca Angkasa
Teen FictionKisah ini dimulai setelah Angkasa dan Gisha lulus SMA. *** Klise, tapi Gishara Aluna tahu benar kalau mempertahankan itu jauh lebih sulit dibanding mendapatkan. Apalagi sama Angkasa, dapetinnya aja susah, apalagi pertahaninnya. Begitulah yang Gisha...