Matahari Tenggelam Di Bawah Jembatan

94 15 20
                                    

Babak Satu

Bram masih saja berteriak dan membentak Astri, perempuan yang ia nikahi sembilan tahun silam. Ia tidak terima uang hasil curiannya di toko kelontong dekat stasiun habis untuk membeli baju anaknya, Teguh.

"Apa kamu tidak mikir, uang itu buat ngasih jatah?" bentak Bram di hadapan Astri.

"Kasihan Teguh, bajunya sudah kusut bahkan robek. Ya, uang yang di bawah bantal aku belikan baju buat Teguh," jawab Astri mencoba menjelaskan.

"Beli baju, katamu. Kamu tidak tahu apa kalau uang itu sangat berarti untuk nyawa suamimu ini?" kemarahan Bram kian menjadi. Pintu dibanting keras. Ia pun berlalu pergi.

Astri sejenak duduk terdiam di atas ban bekas yang dijadikan kursi. Matanya menatap kosong. Langit cerah, matahari meninggi.

Tak selang lama, Teguh, anaknya datang bersama dengan Mbah Urip, pemulung tua yang hidup sebatang kara di sebuah gubuk kecil. Tak ada yang tahu, siapa dan asal Mbah Urip. Tapi orang-orang menyebutnya sebagai lurah bawah jembatan. Ya, kakek tua itu adalah yang kali pertama membuat gubuk kecil di bawah jembatan untuk ia tinggali.

Biasanya, sepulang memulung, Mbah Urip mendengarkan cerita wayang kulit lewat radionya. Namun, kali ini ia melihat Astri termenung sendiri di depan rumah.

"Ada apa lagi, As,?" tanya Mbah Urip membuyarkan lamunan Astri.

"Biasa, Mbah. Bram, kesurupan," ketus Astri.

Mbah Urip menarik napas panjang dan menyuruh Teguh pulang untuk beristirahat. Kadang Mbah Urip mengajak Teguh saat memulung. Anak berusia enam tahun itu, biasanya dikasih upah untuk membeli jajan.

"Jangan begitu. Bram itu suamimu," kembali ke Astri.

"Suami apa, Mbah. Suami itu mestinya tanggung jawab. Mana ada suami yang nekat ngajak hidup istri dan anaknya di bawah jembatan seperti ini," omelnya.

Suara musik gamelan terdengar dari radio usang milik Mbah Urip. Tangannya mengipaskan kertas ke arah wajahnya yang lusuh bekas keringat.

"Bram itu suami yang romantis loh, As. Dia sering cerita tentang kamu dan Teguh. Cerita juga tentang masa depan yang diimpikannya. Tapi, dia memang harus berperan seperti saat ini untuk bertahan hidup," Mbah Urip menimpali.

Astri belum menanggapi, tiba-tiba datang dua orang berbadan tegap, besar dengan mengenakan jaket warna gelap. Tanpa basa-basi, keduanya menghampiri Astri.

"Mana suamimu?" seru salah seorang.

"Gak ada di rumah," jawab singkat Astri, tanpa melihat ke arah kedua orang tersebut.

"Kalau begitu, mana titipan buat kami?" seorang itu pun menjulurkan tangannya. Tapi tak direspon oleh Astri.

"Kemarin, ada pencurian di toko dekat stasiun. Siapa lagi kalau bukan Bram, suamimu yang melakukannya?" kali ini sedikit mengancam.

"Begitu banyak pencuri di kota ini. Kenapa harus Bram?" Astri membantah.

Lantaran tak mendapatkan jatahnya, kedua pria itupun semakin naik pitam. Bahkan, seorang diantaranya hendak menampar wajah Astri.

"Kami bisa memasukkan suamimu ke sel tahanan. Atau kami juga bisa menggusur tempat ini kalau kamu tidak menghargai keberadaan kami. Ingat, kami akan kembali sore nanti, siapkan jatah kami," bentak seorang.

*********

Joko Kardus, seorang pengusaha rongsok dengan penampilan nyentrik baju motif bunga dan celana cutbray. Dan, kalung emas melingkar di lehernya, biasa, dua hari sekali ia datang ke gubuk Mbah Urip. Memang, selama ini Mbah Urip selalu setor hasil mulungnya ke Joko Kardus.

Tak ada harga pasti, Joko Kardus selalu memberi uang lebih untuk hasil mulung Mbah Urip. Bukan karena empati, tetapi ada maunya. Joko Kardus tidak mau Mbah Urip membongkar hubungan gelapnya dengan Astri pada Bram. Karena sejak satu tahun terakhir, hanya Mbah Urip yang tahu jalinan asmaranya dengan Astri.

"Ini uangnya, Mbah. Besok rongsoknya dibawa ke gudang ya. Oh, iya, aku mau ke rumah Astri dulu. Aman kan?" Mbah Urip hanya senyum mendengar perkataan Joko.

Tak ada rasa khawatir, Joko Kardus langsung masuk ke dalam rumah Astri. Entah apa yang dilakukannya, namun beberapa saat Teguh keluar rumah sambil membawa uang pecahan sepuluh ribu.

Matahari mulai turun. Lalu lalang kendaraan bermotor di atas jembatan kian ramai. Sore, waktu para pekerja pulang. Angin semilir, dan sayup-sayup terdengar cerita wayang kulit dari radio berakhir.

**********

Wajah Bram memerah. Ia berjalan cepat menuju rumahnya. Kemarahannya itu disulut karena tanpa sengaja ia bertemu anaknya di sebuah warung.

Bram memang pencuri, tapi ia tidak sekalipun membiarkan anaknya terdidik menjadi pengemis, atau dikasihani oleh orang lain. Baginya, apapun yang terjadi, ia tetap kepala keluarga yang bertanggung jawab, tanpa belas kasihan orang lain.

Kali ini ia sangat marah. Teguh, anak semata wayangnya bercerita jika telah diberi uang sepuluh ribu oleh Joko Kardus.

Bram menggebrak pintu dan langsung masuk ke dalam rumah. Betapa kagetnya, ia menyaksikan istrinya berada di dalam dekapan Joko Kardus. Tak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya, hanya tangannya dengan cepat meraih pisau yang ada di tumpukan piring. Ia gelap mata.

Joko Kardus, yang hanya mengenakan celana pendek berlari keluar rumah. Bram mengejarnya. Namun, baru lewat pintu, suara jeritan Astri menghentikan langkah Bram.

Astri berjalan sempoyongan, wajahnya pucat menahan sakit. Sedangkan tangannya memegangi perutnya yang berlumuran darah. Bram seperti tidak percaya. Ia kalut, ternyata istrinya sendiri yang telah ia tikam dengan pisau dapur itu.

Teguh datang, menangis dan memeluk tubuh ibunya yang tersungkur.

"Sudah saatnya. Bawa anakmu pergi dari sini," seru Mbah Urip dari pintu rumahnya.

"Masih ada tempat yang lebih baik untuk mewujudkan mimpimu. Cepat, bawa Teguh. Berjalanlah ke depan, tak perlu lagi tengok ke belakang," Mbah Urip melanjutkan.

Lalu, ia mencabut pisau dari perut Astri. Dan ia bersila tanpa ekspresi sambil memandangi Bram dan Teguh berjalan ke atas jembatan.

Matahari terbenam. Kegelapan perlahan menelan perkampungan bawah jembatan. Dua orang berbadan tegap, besar dan berjaket warna gelap datang.

RAUNG, SI BANDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang