Babak Tiga
Belum lama ia tinggal di rumah Karto Jembling, yang berada di sebuah gang kecil dengan pemukiman padat. Rumah berukuran lima kali enam meter itu ditinggali Karto, istri dan ketiga anaknya. Kini ditambah lagi, Raung, yang menumpang untuk beberapa waktu yang entah.
Rumah yang hanya punya satu kamar tidur, ruang tamu dan dapur itu, penuh dengan perabotan yang tak tertata. Menumpuk di sudut-sudut ruangan. Jika tidur, mereka tinggal rebahkan tubuh sesuka hati. Dan, kalau mau mandi harus ke luar dan berjalan 25 meter menuju wc umum, yang dibangun dari iuran warga setempat. Itu pun kalau air kran tidak mampet.
Oh iya, istri Karto Jembling bernama Linda, usianya lebih muda 10 tahun dari suaminya yang sudah 45 tahun. Sedangkan anaknya, dua lelaki satunya perempuan. Dendra, Panca dan Aruna. Semua anaknya itu jarang sekali di rumah. Mereka lebih memilih menghabiskan waktu bermain di gang sebelah. Hanya sesekali pulang makan siang, kecuali malam, tidur.
"Mereka tidak sekolah?" tanya Raung setelah melihat ketiga anak Karto pergi untuk bermain.
"Lebih satu tahun tidak masuk sekolah. Karena wabah. Harus lewat daring, ya, tapi karena keterbatasan alat, mereka harus bergantian. Lama-lama bosen juga mereka. Kamu?" Karto balik bertanya.
Raung memandang Karto, namun dengan sekejap ia melempar pandang ke arah yang lain. Dan, tersenyum tipis.
"Harusnya aku lulus SMP tahun ini. Tapi menjelang ujian, aku sudah harus di sini, ketemu orang yang namanya Karto Jembling," ia semakin tertawa.
Karto yang awalnya berempati dengan cerita itu, malah ikut tertawa keras. Bahkan bibirnya terbuka lebar hingga giginya yang tak rata kelihatan.
"Hidup ini selalu menawarkan sesuatu yang tak pernah kita duga sebelumnya," cuit Karto, sembari menepuk pundak Raung.
"Menawarkan sesuatu, tapi tak bisa dinego. Ya, harus terima dan hadapi. Dengan senyum, dengan tertawa," celetuk Raung, yang membuat keduanya tertawa lebih keras.
***********
Jalanan pagi yang sibuk. Kendaraan bermesin berseliweran, dan memadat di tiap perempatan dan pertigaan, apalagi yang tak bertraficklight. Semrawut.
Di sisi jalan, lelaki tua masih pulas tidur di atas becaknya. Dan, trotoar simpanglalu orang-orang berpakaian formal menenteng stopmap dan menggendong tas berukuran tanggung.
Tak ada tegur sapa. Hanya deru knalpot yang bersahutan dengan klakson. Sungguh pagi yang cerewet.
"Coba kamu, ban motor ini ditambal," Karto menyuruh Raung, setelah ada tukang ojek online mengalami ban bocor. Sudah beberapa hari ini, Raung memang membantu Karto Jembling untuk usaha tambal ban di pinggir jalanan kota.
Tanpa menjawab dengan kata, Raung langsung mengambil peralatan dan mulai mencari lubang bocor pada ban motor tersebut. Sesekali ia melirik si tukang ojek yang duduk di depannya.
"Sudah, bang. Ban tubles tak butuh waktu lama untuk tambalnya," katanya. Ia melihat wajah tukang ojek ragu dan bingung.
"Sudah, bawa kerja dulu aja motornya. Bayarnya nanti kalau sudah dapat orderan," cetus Karto yang seakan tahu isi hati tukang ojek di depannya itu.
Dengan wajah sungkan, tukang ojek berperawakan kurus itu pun tersenyum sambil menundukkan kepala kepada Raung dan Karto. "Terimakasih, pak. Saya memang baru berangkat kerja, belum dapat orderan," kembali senyum dan menyalakan sepeda motornya.
Raung kembali duduk di kursi yang terbikin dari tumpukan ban bekas. Memandangi jalan yang ramai lalu lalang kendaraan. Sementara, Karto menyalakan rokok. Menghisap kemudian menghembuskan asapnya ke atas.
"Hampir tiap hari kita menambal lubang, termasuk lubang-lubang dalam perjalalanan hidup ini. Lubang ban hanya bagian yang sangat kecil, dibanding lubang yang ada di dalam hidup kita," tutur Karto, kemudian kembali menghisap rokoknya.
Raung terdiam. Dahinya mengernyit. Ia memandang tajam ke arah Karto.
"Tapi tidak semua lubang harus kita tambal. Lubang hidung misalnya. Biar kita bisa bernapas dan hidup," celetuk Raung. Mereka saling pandang dan beradu tawa sekerasnya.
Bila suka silakan di vote
Bila tidak suka silakan komen saran
Bila penasaran tunggu cerita selanjutnya..
KAMU SEDANG MEMBACA
RAUNG, SI BANDIT
Short StoryRaung kecil bernama Teguh, diasuh keluarga miskin di sebuah pemukiman kumuh di bawah jembatan. Alur kehidupan keras membawa Raung tumbuh berbeda dari anak kebanyakan. Bram, ayahnya adalah seorang maling. Dan, Astri ibunya mati terbunuh dan jasadnya...