Babak Delapan
Bagi yang baru berkunjung, silakan buka mulai dari cerita pertama ya..
Hari ini, Rayya ulang tahun. Raung yang tidak punya kepandaian memberi kado hadiah, mencoba tetap menyiapkan surprise pada perayaan yang ke 21 tahun. Ia tidak tahu, apakah yang disiapkannya itu menjadi istimewa atau tak lebih dari sekedar bingkisan biasa.
Raung memandangi tajam lukisannya sebelum membungkusnya dengan kertas dan mengikatnya dengan pita merah. Di atas kertas tertuang goresan pensil seorang perempuan cantik dengan ekspresi tersenyum. Tangan kirinya menangkup ke dada dan tangan kanan memegang payung. Seperti memberi peneduh bagi orang lain. Tapi di sisi lain, tubuh perempuan itu dibiarkan di bawah mendung, yang kapan saja bisa membasahi tubuhnya.
Lukisan itu sebenarnya mulai dibuatnya sudah satu minggu yang lalu. Namun, baru tuntas diselesaikan semalam. Raung memang tidak punya pengalaman apapun dalam hal cinta, tapi itu tidak menjadi alasan jika hatinya merasa sepi dan ingin memiliki seorang kekasih.
Rayya, adalah perempuan yang pertama ia kenal dan yang mampu memberikan ketentraman dalam hidupnya. Untuk itu, ia tidak ingin menyiakan kesempatan untuk memberi kejutan di hari ulang tahun Rayya.
"Aku hari ini tidak bisa membantu, om. Saya ada acara di rumah teman. Maaf ya, om," Raung pamit kepada Karto Jembling, lelaki yang selama ini ia tumpangi hidup. Karto hanya membalas dengan senyum dan jempol tangan.
Raung bergegas keluar rumah dan menyusuri jalan gang. Tak lama kemudian, ia masuk ke dalam mobil angkutan kota, yang mengantarkannya ke rumah Rayya. Di dalam angkutan hanya ada dua emak-emak habis dari pasar. Tidak tahu, apakah mereka saling kenal atau tidak. Tapi mereka berbincang sangat asik.
"Sekarang serba susah ya, barang-barang harganya naik dan mahal," keluh emak yang pakai baju warna biru.
"Iya memang naik, tapi gak mahal," celetuk emak yang satunya sambil merapikan jilbab merahnya.
"Gak mahal gimana. Wong saya belanja hanya sak kucrit begini sudah habis seratusan ribu kok," baju warna biru kian sewot.
"Tapi kan sekarang banyak bantuan, gaji buruh tiap tahun naik. Jadi bisa imbang antara pendapatan sama pengeluaran," emak berkerudung kembali menimpali.
"Itu yang kerja jadi buruh, kalau yang usaha sendiri gimana, dan yang pengangguran gimana. Banyak yang gak bisa makan," kali ini emak yang berbaju biru senyum pahit.
Raung yang mendengarkan obrolan itu tidak bisa ikut menimpali. Ia pegang erat lukisannya sambil melirik ke arah kedua emak-emak tersebut.
"Sudah sampai tujuan, mas," sopir memelankan laju dan menepi di pinggir sebuah gapura perumahan elit. Raung menyodorkan uang dan turun dari angkutan kota.
Ia berdiri tepat di depan gapura. Dipandanginya dan membaca tulisan besar di bagian atasnya. Lalu, berjalan pelan memasukinya. Seorang sekuriti berdiri di depan pos penjagaan. Matanya melihat Raung dengan teliti, dari bawah sampai ujung kepala.
"Mau kemana dan ketemu siapa?" tanya sekuriti itu.
"Saya mau ke rumah Rayya," jawab Raung.
"Boleh lihat KTP atau tanda pengenal?" sekuriti itu menimpali lagi.
"Aduh, saya lupa bawa dompet. Tapi saya memang temannya Rayya," dengan cepat Raung beri alasan. Ia tetap tenang.
"Baiklah, silakan. Rumahnya ada di blok B nomor 15, berada nomor dua dari ujung," sekuriti itu masih menatapnya curiga. Namun, Raung langsung saja melanjutkan langkahnya.
**********
"Iya, saya akan bereskan. Tapi jangan sekarang," Karto Jembling membentak kepada petugas yang akan menggusur usaha jasa tambal ban miliknya.
"Semua yang melanggar harus ditertibkan. Usahamu ini berada di trotoar jalan," dengan tenang Komandan petugas menjelaskan.
"Tapi tidak ada pemberitahuan lebih dulu. Biasanya kan ada peringatan dan lain-lain," Karto terus melawan.
"Sudah bereskan. Salah kok ngeyel," Komandan itu memberi perintah kepada anak buahnya.
Tubuh Karto yang tambun itu mencoba melawan petugas yang memaksa merusak kios semi permanennya. Tiga petugas menghalangi Karto, dan yang lain beringas membereskan semua benda dan alat usaha tambal ban. Sementara, pedagang jalanan yang lain panik dan sibuk menyelamatkan barang-barangnya.
Di trotoar itu memang sudah lama dijadikan usaha bagi pedagang kaki lima. Dari dulu dikenal dengan pasar maling, tapi perkembangan waktu banyak pedagang dari berbagai macam dagangan. Seperti elektronik, onderdil motor, makanan dan jasa tambal ban.
*************
Suasana halaman belakang rumah Rayya begitu ramai. Pernak pernik ulang tahun memenuhi sudut-sudut dan musik bising. Teman kampus dan entah dari mana dan siapa saja, Raung tidak tahu. Ia hanya menikmati minuman yang disediakan di dekat pintu masuk dan masih memegangi bingkisannya.
Sesaat kemudian, Rayya menghampiri Raung. Belum sempat mengobrol, Raung memberikan bingkisannya itu kepada Rayya.
"Terimakasih, silakan bergabung," ajak Rayya.
Raung berjalan mendekati kerumunan teman-teman Rayya. Ia mencoba menyapa, namun tidak mendapat respon. Mereka hanya memandangi Raung sesaat dan kembali bersendau gurau dengan yang lain.
Begitu juga dengan Rayya, tidak banyak mengajak berbincang Raung. Ia justru asik bercerita dengan teman-temannya.
Suara musik yang bising perlahan menghilang. Salah seorang teman Rayya, lelaki mengeluarkan gitar dari tas. Mereka masih duduk melingkar, sambil menikmati minum dan makanan.
Tangan lelaki itu mulai memetik gitar. Hampir semuanya menyambut dengan bernyanyi bersama-sama. Raung diam, ia tidak tahu lagu-lagu, apalagi berbahasa asing. Yang ia tahu adalah kerasnya masalalu dan sunyi hatinya saat ini.
Entah sudah berapa menit, atau jam Raung menikmati suasana yang gagu sendiri di pojok antara lingkaran orang-orang itu. Ia pun berdiri menghampiri Rayya, ia membisik pamit pulang di telinga Rayya.
Raung dan Rayya berjalan menuju pintu keluar.
"Terimakasih sudah datang. Terimakasih juga kadonya," Rayya memandangi wajah Raung.
"Tidak seberapa, semoga kamu suka. Sebenarnya aku mau ngomong sama kamu," Raung ingin sekali mengungkapkan perasaannya kepada Rayya. Ia tidak yakin kekagumannya itu akan berbuah cinta. Tapi ia begitu percaya diri untuk mengatakannya sekarang.
"Kamu cantik, aku....," tiba-tiba kalimat Raung terputus.
"Rayya, sudah saatnya tiup lilin," teriak dari salah seorang di lingkaran tadi, sambil mengangkat kue ulang tahun.
"Hati-hati di jalan ya. Aku harus ke sana lagi. Sampai jumpa lagi," Rayya meninggalkan Raung.
***********
Dada Raung penuh sesak dengan umpatan dan rasa tidak percaya dari apa yang dialaminya hari ini. Rayya sangat cuek padanya. Dan lagi, keinginannya untuk mengungkapkan perasaannya tak tercurah. Ia berjalan menyusuri gang depan rumah Karto. Sesampainya di depan pintu, ia mendengar Linda, istri Karto menangis. Raung bergegas masuk ke rumah untuk memastikannya.
"Ada apa, om?" Raung belum sempat duduk dan masih berdiri di depan Karto dan Linda.
"Usaha tambal ban kita dirazia tadi. Semua barang disita," ungkap Karto.
Gigi Raung bergemeretak dab rahangnya mengotot. Tangannya mengepal keras dan wajahnya memerah.
------ dan masih bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
RAUNG, SI BANDIT
Historia CortaRaung kecil bernama Teguh, diasuh keluarga miskin di sebuah pemukiman kumuh di bawah jembatan. Alur kehidupan keras membawa Raung tumbuh berbeda dari anak kebanyakan. Bram, ayahnya adalah seorang maling. Dan, Astri ibunya mati terbunuh dan jasadnya...