Babak Tujuh
Hujan kadang datang tak disangka. Seperti sore ini, air turun deras dari langit di pertengahan Bulan Juli yang sebenarnya masuk musim kemarau. Air berkecipak di jalanan beraspal, sisanya menggenang dan menyiprat saat roda kendaraan melintas dengan cepat.
Di bawah halte bus trans kota, Raung dan Rayya berteduh, berlindung dari derasnya hujan. Mereka terlihat kedingingan, karena setengah pakaiannya basah. Tangan Rayya beberapa kali menepak dan mengibaskan di bagian pakaiannya yang basah. Sementara Raung mendekap tubuhnya sendiri, sambil sesekali melirik ke Rayya, yang berdiri hanya berjarak setengah jengkal darinya.
Ditamatkan pandangannya pada rambut Rayya yang basah. Ia melepas tangannya yang sedari tadi bersedekap di tubuhnya sendiri. Setengah ragu, Raung ingin membelai rambut Rayya. Namun, beberapa kali urung.
Di dalam benak Raung, ingin sekali ia memeluk tubuh Rayya, perempuan empat tahun lebih tua darinya itu. Ia tidak memungkiri, Rayya memiliki paras yang tak umum bagi perempuan biasa. Cantik, bibir merah hati, hidung proporsional, rambut lurus. Dan, yang paling menarik bagi Raung adalah sikap tomboy dan tidak manja.
Tubuh Rayya setinggi tepat sepipi Raung, membuat Raung ingin membaui rambutnya yang basah. Dan melingkarkan tangannya di leher mahasiswi jurusan seni rupa itu. Tanpa disadari, karena asik berimajinasi, tangan Raung merengkuh lengan Rayya, hingga Rayya terhenyak kaget. Merekapun saling pandang.
"Eh, maaf. Eee.. anu, tadi itu mau ada petir," gagap Raung jadi salah tingkah.
"Hemmm, petirnya gak jadi datang yang nyambar malah tanganmu," Rayya meledek. Raung menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Raung mengalihkan pandangan, ia menarik napas panjang dan lamban. Mengumpulkan segenap kepercayaan diri untuk sekedar mengatakan Rayya cantik.
"Rayya...," Raung sedikit berani memulai kalimatnya. Namun baru di awal, Rayya yang tidak memperhatikan Raung tiba-tiba memotong dengan cepat.
"Wah, sudah reda. Tidak hujan lagi," sergah Rayya dengan menengadahkan tangannya ke atas memastikan tak ada air yang jatuh. "Ayuk, jalan lagi," sikap cueknya kelihatan banget. Rayya nyelonong saja menuju motor maticnya yang dari tadi terparkir di samping halte.
Kali ini Rayya di depan. Raung tak banyak bicara langsung membonceng di belakang sambil mengatur helmnya. Rayya langsung menancap gas melintasi jalan-jalan kota.
"Kita akan kemana?" Raung sedikit berteriak karena motor melaju cukup kencang.
"Ke suatu tempat, yang pasti kamu akan senang," tangan kiri Rayya menepuk dengkul Raung.
Setelah 7 menit kemudian, sampailah mereka di sebuah komplek kota tua yang berada di pinggir kota. Bangunan-bangunan berarsitektur eropa menjadi pemandangan menarik. Sisa hujan masih menyisakan kesejukan. Rayya memelankan laju motornya.
"Hoyyy, berhenti...!" teriak seseorang mengagetkan.
"Lokasi sini ditutup, tidak ada yang boleh masuk sementara. Balik..!" bentaknya lagi.
Mendengar itu, Raung naik darah. Ia turun dari motor dengan cepat dan membuka helmnya. Ia tidak menghiraukan panggilan Rayya, dan terus berjalan cepat menghampiri seseorang tersebut.
"Jangan bentak bisa," sergah Raung.
"Itu sudah tugas saya. Kalian masuk nyelonong aja," seseorang itu menimpali ketus.
Raung semakin tak kuat menahan emosinya. Rahangnya terlihat mengotot.
"Kalau memang ditutup, bilangnya jangan bentak," tangan Raung setengah mengangkat helm yang dipegangnya. Namun, mendadak dicegah oleh Rayya.
"Ini aku, Pak Tris. Rayya, mahasiswi seni rupa yang sering bikin acara di sini," ternyata Rayya mengenal seseorang itu. Namanya Sutrisno, keamanan komplek Kota Tua.
"Owalah, kamu. La ini siapa?" melirik ke arah Raung.
"Oh, ini Raung teman Rayya. Sebenarnya kita mau duduk-duduk saja sambil melukis gedung-gedung di sini, Pak Tris. Tapi kita memang tidak tahu kalau ditutup," Rayya menjelaskan maksud kedatangannya.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Kalau bisa pilih yang agak di dalam, biar tidak membuat iri yang lain," Pak Tris akhirnya memberi izin.
"Terimakasih, Pak Tris. Eeh, minta maaf atas kesalahpahaman tadi ya," Rayya pun meraih tangan Raung dan mengajaknya ke suatu sudut di antara gedung-gedung tua.
Rayya memilih duduk di teras salah satu bangunan yang teduh. Ia menceritakan pengalamannya saat pertama kali masuk kuliah. Sering membuat event seni rupa di komplek Kota Tua. Selain estetis, kota peninggalan sejarah itu menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi.
Namun, sejak munculnya wabah yang hampir dua tahun terakhir, nyaris tidak ada kegiatan-kegiatan seni rupa, baik di Kota Tua maupun di tempat lain.
Raung yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama cerita Rayya, tanpa sengaja melihat pedagang rujak keliling di jarak 50 meter di seberang jalan.
"Kasihan, siang menjelang sore begini dagangannya masih banyak," keluh Raung.
"Kamu tunggu di sini sebentar ya," lanjut Raung kepada Rayya kemudian berjalan menghampiri pedagang rujak.
Rayya pun tidak mau kehilangan momentum. Naluri pelukisnya muncul. Segera ia mengambil kertas dan pensil yang berada di dalam tasnya. Lalu, pandangnya fokus ke arah pedagang rujak, dan tangannya menggores pelan pensil di atas kertas.
Sekira 10 menit kemudian, Raung sudah berdiri di depannya dengan membawa sebungkus rujak.
"Satu untuk berdua ya, biar romantis," tutur Raung yang dibalas senyum oleh Rayya.
Raung mengambil duduk di samping kanan Rayya. Ia diam-diam melihat wajah Rayya dari samping. Jauh di lubuk hatinya, Raung begitu nyaman dengan kehadiran Rayya di hidupnya.
Baru kali ini, Raung merasakan ketentraman menjalani hari-harinya. Berbanding balik dengan kehidupannya Raung, yang berlatarbelakang hidup sebatang kara. Ibunya meninggal, tepatnya dibunuh, saar ia masih berumur 6 tahun. Dan, ayahnya harus masuk penjara karena kasus kriminal, yang juga membuatnya putus sekolah.
Keadaan Raung memang tidak berubah, tapi perasaannya yang semakin tentram. Semangat hidup seperti lahir kembali setelah kenal Rayya.
"Sudah jadi. Dan, akhirnya ini hasilnya," celetuk Rayya sembari menyodorkan lukisannya.
Raung tersadar dari lamunannya. "Wah, bagus. Keren," ia menatap lukisan dan kemudian melihat jauh pedagang rujak.
Dari utara, mendung datang perlahan. Langit yang sempat cerah beberapa waktu, kini kembali gelap.
"Mendung datang lagi, ayuk kita cabut," Rayya berkemas, menata tasnya.
Seperti biasa, Raung memakai helm dan membonceng di belakang.
"Aku pengen jadi obyek dalam lukisanmu," lirih Raung sesaat kemudian Rayya tancap gas motornya.
--- bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
RAUNG, SI BANDIT
Short StoryRaung kecil bernama Teguh, diasuh keluarga miskin di sebuah pemukiman kumuh di bawah jembatan. Alur kehidupan keras membawa Raung tumbuh berbeda dari anak kebanyakan. Bram, ayahnya adalah seorang maling. Dan, Astri ibunya mati terbunuh dan jasadnya...