Raung, Lelaki Tepi Sungai

60 13 3
                                    

Babak Dua

Ia masih berdiri di tepi sungai. Matanya tajam menatap nanar ke arah air sungai yang keruh. Kedua telapak tangannya ia selipkan di kantong celana jeans warna hitam yang telah usang.

Beberapa saat, ia pejamkan mata. Air matanya berlinang tipis membasahi pipi. Bibirnya bergetar. "Ibu...," lirihnya pelan.

Ya, peristiwa sadis 10 tahun silam masih menggores luka di dadanya. Ibunya tersungkur dengan darah yang bersimbah di perutnya. Tak lama ia memeluk tubuh ibunya, tangan ayahnya meraih keras dan membawanya pergi dari bawah jembatan, tempat tinggalnya selama ini.

Tak bisa tergambarkan secara jelas bagaimana perasaannya saat itu, yang masih bocah berusia 6 tahun. Tak tahu kenapa ibunya mati, tak tahu siapa yang menikam ibunya saat itu. Dari sudut jauh, tangisnya makin menjadi-jadi. Dua lelaki bertubuh tegap, berjaket warna gelap melemparkan tubuh ibunya ke sungai.

*********

Suara sirine yang melintas di jembatan membuyarkan lamunan dan membuatnya sesegara menyeka air matanya. Untuk kemudian pergi dari tepi sungai menuju Pasar Maling, sebuah trotoar yang biasa dibuat jualan barang hasil curian. Ia menemui Karto Jembling, pria berusia 45 tahun dengan perut buncit dan tato macan di lengan kirinya.

Tak sulit baginya untuk menemukan orang yang dimaksud. Ia menatap Karto, begitu sebaliknya. "Bram...," ia menyebut nama, seperti password yang kemudian Karto merespon dengan serius. Diajaklah ia ke sebuah warung makan tenda di pojok trotoar.

"Aku anaknya Bram," ia mengenalkan dirinya usai sampai di warung.

"Kamu Teguh?" tanya Karto sedikit kaget.

"Iya, tapi orang-orang suka memanggilku Raung," jelasnya.

Karto Jembling adalah sahabat Bram. Sewaktu masih menjadi raja maling di kota itu, Karto lah yang menjadi penadah dan menjual barang hasil curian. Bram bahkan dikenal sebagai belut berbisa ular. Semua orang tahu ia pencuri, tapi tak satupun mampu menjebloskannya ke sel. Ya, karena ia belut. Hingga akhirnya, peristiwa tragis itu terjadi. Bram pergi membawa Raung, 10 tahun silam.

"Bagaimana kabar Bram?" celetuk Karto.

Raung menghela napas dan menghembuskannya kembali. "Dia ditangkap polisi. Bukan karena mencuri. Dia menjadi keamanan di komplek ruko, dua tahun terakhir. Tapi karena sepi dan dua bulan tidak terima honor, ia hajar habis-habisan bos komplek ruko sampai mau mati," ungkapnya.

"Dia tahu, bos komplek ruko punya banyak preman. Dia menyuruhku pergi dan menyebut nama Karto Jembling sebelum akhirnya digelandang ke mobil polisi," lanjut kisahnya.

Seorang ibu tua, pemilik warung menyodorkan dua gelas kopi panas pada Karto dan Raung. "Monggo, kopi item panasnya," sapanya.

"Aku sudah tidak lagi jualan di Pasar Maling, sejak Bram pergi. Sekarang aku buka usaha kecil-kecilan tambal ban. Pendapatan kecil tapi tidak banyak masalah," Karto kepada Raung.

"Aku bisa bantu," singkat Raung menimpali.

"Untuk sementara ini tinggal dulu di rumah. Tidak ada kamar, tapi di depan tivi ada kursi yang bisa buat tidur. Soal rencana ke depan, kita bicarakan nanti," sergah Karto. Merekapun menyeruput kopi bareng.

*********

Yuk, simak terus kisah selanjutnya...

RAUNG, SI BANDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang