Babak Empat
*******
******* ******Senja itu, matahari hendak berlabuh di langit barat. Lagi-lagi, Raung berdiri di tepi sungai matanya nanar menatap air sungai yang keruh. Tak ada gerakan berarti, seperti mematung. Tapi jiwanya begitu gelap, seiring malam perlahan mengatup hari.
Tak seperti biasanya. Kali ini ia lebih lama berdiri di tepi sungai. Barangkali ingatan tentang ibunya berkecamuk di dalam batinnya. Ia begitu rindu. Beberapa kali, bibirnya hendak mengucap doa, tapi tak pernah usai.
Tanpa sengaja saat ia menoleh, matanya menangkap ada sosok berdiri di atas jembatan. Awalnya ia mencurigai kalau sosok itu memperhatikan dirinya sedari tadi. Matanya kian menatap tajam ke arah sosok itu.
Aneh, sosok itu sendirian di atas jembatan. Tak ada yang diperbuat. Namun, langkahnya perlahan mendekati pagar jembatan. Tangannya merengkuh pipa dan hendak naik ke atas. Wajah Raung berubah. Tak pikir panjang, ia lari menuju sosok itu.
"Ini gila..!" Raung mengumpat.
Raung terus berlari kencang dengan mata tertuju sosok yang ada di atas jembatan itu. Aktivitas kendaraan mulai sepi, tak seperti sore hari waktu para pekerja pulang. Sehingga tak ada yang memperhatikan sosok itu.
Tanpa hentikan lari sekejap pun, Raung langsung merengkuh tubuh sosok itu, yang hendak melompat dari atas jembatan. Menarik dan membantingnya ke arah trotoar sisi jembatan.
"Lepaskan, siapa kamu?" jerit sosok itu, yang ternyata seorang perempuan. Ia masih saja memberontak ingin melepaskan tangan Raung yang mendekapnya erat.
Lelaki berambut ikal sebahu itu masih ngos-ngosan. Sangat hati-hati ia melepaskan dekapannya. Ganti lengan perempuan itu yang ia pegang.
"Jangan gila. Kamu pikir bunuh diri akan selesai semua persoalan?" Raung melotot. Kali ini, ia menarik tubuh perempuan itu untuk berdiri.
"Apa urusanmu..!" perempuan itu masih ketus.
Kali ini Raung lebih keras menanggapi. "Karena cara dan tempatmu mati bikin urusan denganku," genggaman Raung di lengan perempuan itu semakin kuat.
Terlihat beberapa kali pengguna jalan yang lalu lalang melemparkan pandang ke arah Raung dan perempuan itu. Namun, gerak-gerik Raung menunjukkan situasi sedang baik-baik saja.
"Kita menepi saja, biar aku beri tahu sesuatu," ajak Raung, tapi perempuan itu menolak.
"Oke, aku tak mau menceritakan soal urusan pribadiku. Tapi aku harus bilang, aku lelaki yang sepuluh tahun lalu adalah penghuni bawah jembatan ini. Lahir di gubuk kumuh dan diasuh keluarga yang melarat," matanya memandang tajam ke arah perempuan itu.
Perempuan berjaket warna merah itu mulai tenang. Ia memandangi Raung penasaran.
"Hingga aku umur 6 tahun," Raung terdiam dan menghela napas.
"Kamu jangan mengarang cerita," ketus sang perempuan, yang dibalas tatapan tajam Raung.
"Jika tiap orang berhak mengarang cerita dan menjalani sesuai ceritanya, tak akan ada orang yang ceroboh dan gila mau mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri," balas Raung yang membuat perempuan itu menunduk.
Tubuh perempuan itu lemas, kemudian menyandarkan diri ke pagar jembatan. Ia menangis. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya. Sementara, tangan Raung perlahan melepas genggaman lengan perempuan itu.
"Ibuku mati saat itu. Aku tidak tahu kenapa yang aku tahu ada pisau menancap di perutnya. Tak lama, aku dibawa ayahku pergi. Dan, yang perlu kamu tahu, dari kejauhan aku lihat jasad ibuku di lempar ke sungai oleh dua orang yang tak aku kenal. Jadi, cukup aku saja yang punya cerita kelam tentang sungai dan jembatan ini, tidak orang lain. Termasuk kamu," Raung menegaskan.
Tiba-tiba, ada mobil sedan menepi di samping keduanya. Raung mengarahkan pandangnya ke mobil itu. Sosok perempuan yang disampingnya itu menyeka air matanya.
Seorang lelaki turun dari mobil. Penampilannya parlente. Baju rapi warna merah muda masuk celana coklat dan sepatu pantofel berbahan kulit hewan berkualitas super. Rambutnya melitit ala aktor taiwan Andi Law.
Tak menegur sapa, ia hanya melihat Raung sesaat lalu berjalan menghampiri perempuan itu.
Lelaki itu terlihat sedang berbicara dengan perempuan itu. Lirih, hanya terdengar samar. Hanya sesekali keduanya menatap Raung.
Tak lama, lelaki itu membawa si perempuan ke mobil. Sempat berhenti saat sampai di depan Raung. Di situlah kesempatan Raung nyeletuk.
"Siapapun kamu, siapapun dia. Jagalah orang-orang yang kamu cintai. Karena tak ada alasan yang lebih menyakitkan dari air mata, selain kehilangan," seru Raung.
Keduanya tak merespon, mereka melanjutkan masuk ke dalam mobil. Dan, sesaat kemudian melaju ke arah kota.
Selamat menikmati cerita. Simak terus kelanjutannya...
KAMU SEDANG MEMBACA
RAUNG, SI BANDIT
Cerita PendekRaung kecil bernama Teguh, diasuh keluarga miskin di sebuah pemukiman kumuh di bawah jembatan. Alur kehidupan keras membawa Raung tumbuh berbeda dari anak kebanyakan. Bram, ayahnya adalah seorang maling. Dan, Astri ibunya mati terbunuh dan jasadnya...