Perempuan Misterius Itu Bernama...

46 11 4
                                    


Babak Lima

* Beri vote/bintang

** Beri saran di kolom komentar

*** follow agar tidak ketinggalan ceritanya

Raung terbangun lebih cepat dari biasanya. Ia bahkan mendahului kedatangan matahari di pagi hari. Mengucek mata, seraya merapikan rambutnya yang awut-awutan. Tangannya kemudian menyambar baju flanelnya.

Sesaat pandangnya mengarah ke tiga anak Karto Jembling yang masih pulas tidur di depan televisi. Ia kemudian melangkah ke luar rumah. Sempat berhenti di depan pintu, dihirupnya udara segar, sembari melihat suasana gang yang masih remang.

"Minggu pagi," bisiknya sendiri. Raung pun melanjutkan langkah setengah cepat menyusur gang menuju jalan raya.

Selama tinggal di rumah Karto Jembling, ia memang jarang sekali menikmati kota ini. Tiap hari, waktunya habis di tempat tambal ban, tepi sungai, dan berdiam di kursi kumal depan televisi.

Ia bahkan tidak kenal dengan tetangga sebelah, kecuali hanya hapal beberapa wajahnya. Dan, tiap pergi-pulang, hanya senyum yang ia berikan untuk tetangga yang kebetulan melihatnya. Padahal, sudah sekira satu bulan, ia menumpang hidup di rumah lelaki tambun, teman ayahnya itu.

Ia masih berjalan menyusur trotoar jalanan. Tangan kanannya menyelinap ke dalam saku celananya. Diambilnya beberapa uang kertas.

"Lumayan," katanya, setelah melihat tiga lembar uang Rp 50 ribu di tangannya.

Ya, Karto memang memberi uang padanya dari hasil membantu usaha tambal ban, tiap Sabtu malam. Tidak banyak, dan tidak tentu berapa nominalnya. Dan, Raung tidak pernah memerdulikannya, karena selama ini, Karto Jembling sudah memberi tumpangan hidup sekaligus makan sehari-hari.

Sebenarnya tak ada tujuan pasti hari itu ia hendak kemana. Namun, kota yang saat ini ia tinggali membuatnya penasaran untuk dinikmati.

Langkahnya terhenti. Dari jarak 50 meter, ada keramaian seperti pasar. Ia perlahan mendekati tempat itu, sambil membawa rasa penasaran.

"Ini memang pasar. Pasar pagi," bisiknya pelan, yang hampir tak didengar di kupingnya sendiri. Apalagi, para pedagang ramai riuh menawarkan dagangannya. Mulai penjual obat gatal, jimat dan batu akik, pakaian, hingga makanan. Belum lagi pengunjung yang berjubal di lokasi, ditambah mereka yang membawa anak kecil.

Raung hanya menikmati suasana pagi itu. Ia berjalan pelan memandang apa saja yang ada di sekelilingnya. Hingga akhirnya, ia menemu penjual buku dan perangkat menggambar anak-anak.

"Buku gambar satu, pensil biasa satu. Berapa, om?" Raung menyodorkan uangnya, setelah si penjual memberi tahu harganya tersebut.

************

Karto Jembling terlihat menata peralatan tambal ban miliknya. Kali ini ia sendirian, karena tidak tahu kemana Raung hari ini. Mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan sesuatu.

"Kemana bocah itu. Aneh, pagi sekali dia bangun. Dan pergi tidak pamit," gerutunya.

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan persiapan buka usaha tambal bannya itu. Kedua telapak tangannya bergerak seperti bertepuk tangan menandakan semuanya tuntas. Karto pun duduk santai, kemudian menyalakan rokok kreteknya.

"Jangan mendoakan orang kena musibah untuk kita mendapatkan rejeki. Niati saja, menolong. Kalau ada yang bocor, saya tolong menambalnya," Karto tersenyum sendiri, sembari menghembuskan asap rokoknya.

*************

Raung tidak lagi memerdulikan suasana di sekelilingnya. Ia duduk di pinggiran dekat penjual alat pertukangan. Dan, ia hanya fokus ke lembar buku gambarnya. Kadang tatapannya ke arah langit, tapi kemudian kembali ke buku gambarnya.

Tangan kanannya mulai menggerakkan pensil di atas buku gambar itu. Sementara tangan kirinya, kadang menyibakkan rambut ikalnya ke belakang, karena mengganggu pandangannya.

Goresan pensilnya perlahan membentuk wajah seorang perempuan. Setengah baya. Rambutnya lebih dari bahu, hidungnya sedikit mancung, tapi matanya sayu, dan alisnya tipis.

"Wanita yang cantik," tiba-tiba suara seorang perempuan di depannya. Raung celingukan, kaget.

Perempuan yang awalnya berdiri itu kemudian duduk di samping Raung.

"Aku perhatikan kamu dari tadi. Aku tahu, kamu lelaki yang di jembatan waktu itu. Ya, bajunya sama, celananya belum ganti, dan samar-samar wajahmu aku ingat," perempuan itu tersenyum.

"Berarti kamu, perempuan yang mau bun..," ucapan Raung dengan cepat dipotong oleh perempuan itu.

"Namaku Rayya, ya Rayya Syakila Hamida," perempuan itu memperkenalkan diri dan menjulurkan tangannya ke Raung.

Raung masih terlihat ragu. Buku gambarnya ditutup dan pensilnya diletakkan di atasnya. Ia menjabat uluran tangan Rayya.

"Aku Raung. Panggil saja Raung," ucapnya.

Rayya dengan sigap berdiri. Wajahnya sumringah dan menatap manja ke arag Raung.

"Aku sering jalan ke sini tiap minggu pagi. Ini namanya pasar pagi, yang hanya buka tiap minggu pagi. Ayo, kita jalan-jalan mumpung masih ramai," Rayya meraih tangan Raung dan menariknya berdiri.

Mereka berjalan sepanjang lorong jalan yang penuh dengan pedagang. Mereka lenyap di antara keramaian pengunjung dan ramai riuh pedagang.



Masih suka ceritanya? Tunggu episode selanjutnya ya, teman....




RAUNG, SI BANDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang