Babak Sembilan
Raung terlihat tak seperti biasanya. Wajahnya merah, tatapannya tajam, nafasnya tersengal dan tindakannya beringas. Ia berjalan bergegas dari rumah, menyusuri gang-gang sempit hingga jalan kota. Tak tentu arah dan tujuan, ia hanya tahu jiwanya kalangkabut oleh kemarahan.
Ingatan masalalunya kembali terlintas. Hidup di bawah jembatan. Ayahnya adalah seorang maling, dan terpaksa lari setelah ibunya dibunuh dan dibuang ke sungai. Waktu itu, umurnya baru 6 tahun, lalu ia dibawa ke suatu kota lain oleh ayahnya.
Setelah 6 tahun hidup di antara ketidakpastian di kota yang baru, ayahnya mulai bekerja sebagai jasa keamanan di komplek ruko. Dan, Raung sempat mengenyam pendidikan sampai SMP. Namun, kegelapan kembali menyergap hidupnya. Ayahnya ditangkap polisi karena menganiaya bos komplek ruko. Sebab, dua bulan ayahnya tidak menerima upah.
Dan, Raung terpaksa kabur berpindah kota karena bos ruko punya banyak preman suruhan yang bisa mengancam keselamatan jiwanya. Ia pun tak sampai lulus sekolah. Akhirnya, ia bertemu Karto Jembling, sahabat karib ayahnya, yang kemudian memberikan tumpangan hidup.
Beberapa waktu hidup di rumah Karto, ia mengenal Rayya, seorang mahasiswi yang ia selamatkan dari niat bunuh diri di jembatan. Perempuan berparas cantik dan bergaya tomboy itu telah mampu menghidupkan bibit cinta di hati Raung, yang selama ini gersang.
Namun, rasa cintanya tidak pernah tersampaikan. Bahkan, Rayya bersikap begitu berbeda saat merayakan ulang tahunnya yang ke-21. Padahal, kado yang diberikannya adalah bentuk kontemplasi atas diri Rayya pada dirinya selama ini. Perempuan yang selalu menaunginya dan memberikan ketentraman. Lebih-lebih, menyuburkan semangat hidupnya.
Raung benar-benar menemukan hari yang aneh. Sepulangnya dari perayaan ulang tahun Rayya, Karto Jembling harus kehilangan usahanya karena petugas telah merazia dan menyita semua alat tambal ban, yang berdiri di trotoar. Pukulan-pukulan peristiwa itu membarakan kemarahan di dadanya.
"Aku Raung, hidup dengan takdirnya sendiri," gumam Raung sambil terus menempuh jalan.
***********
Di ruang tamu, yang tak begitu luas, Karto Jembling masih mencoba menenangkan istrinya yang kalut. Ya, karena selama ini biaya hidup keluarganya berpasrah terhadap penghasilan usaha tambal ban.
"Lin, tak ada gunanya menangis. Itu malah menambah kesedihan. Kasihan anak-anak, malah ikut takut," Karto memegang tangan istrinya.
"Apa yang membuat seorang ibu menangis kalau bukan kekhawatiran tidak bisa memasak makanan buat anaknya?" Linda sesenggukan.
Karto Jembling menarik nafas panjang dan kembali mengembuskannya. Ia memanggil ketiga anaknnya untuk mendekat, lalu dipeluknya penuh kehangatan.
"Ini bukan yang pertama. Kita sudah sering menemukan nasib buruk, tapi selama ini kita tidak mau kalah, tidak mau menyerah. Nanti pasti ada jalan," tutur Karto. Tubuh istrinya berlabuh ikut memeluk ketiga anaknya.
**********
Mega merah memenuhi langit sore. Matahari perlahan berlabuh di sebelah barat. Sebentar lagi malam tiba.
Raung berjalan pelan menuju komplek perumahan Rayya. Tidak ada rasa takut, ia mencoba tetap tenang saat seorang sekuriti mencegatnya di depan pos.
"Mau kemana, dan ada kepentingan apa?" sergah sekuriti.
"Emmm, saya dipanggil untuk memperbaiki atap rumah," Raung mantap menjawab.
Wajah sekuriti itu tampak tidak percaya. Ia melihat Raung seperti detektif yang menguliti suatu kasus.
"Biasanya kalau ada keluhan terkait bangunan, pengembang perumahan yang menyediakan jasa perbaikan. Dan, ini sudah mau malam," sekuriti itu menjelaskan.
"Saya tidak tahu, tapi saya dihubungi untuk perbaikan atap pemilik rumah blok B nomor 13," Raung asal sebut saja. Padahal, itu nomor rumah tetangga Rayya. Kemungkinan sekuriti lupa jika Raung pernah ke rumah Rayya.
Sekuriti itu tidak mengeluarkan kata apapun, tapi memberi kode kepada Raung untuk masuk ke komplek. Raung pun tersenyum dan berucap terimakasih.
Raung tetap tenang dan berjalan santai. Matanya melihat situasi rumah yang berada di kanan dan kirinya. Ia membelok ke sebuah blok, dan matanya fokus ke salah satu rumah yang di garasi tidak ada mobil terparkir. Ia memastikan kondisi aman, dan masuk halaman rumah itu dengan tenang. Kebetulan pagarnya tidak terkunci.
"Rumah bak istana tidak ada mobil terparkir berarti sedang ditinggal pemiliknya. Paling pembantunya saja," lirih yakin Raung.
Tidak ada kesulitan untuk masuk ke dalam rumah sebesar itu. Barangkali penghuni komplek perumahan sudah merasa cukup pengamanan dari sekuriti. Sehingga tidak memikirkan kemungkinan maling masuk.
Sekira 15 menit, Raung keluar dari rumah mewah itu. Namun, ia memilih memanjat pohon mangga dekat dengan pagar belakang komplek untuk menghindari pos sekuriti.
Ini adalah hari pertama ia mencuri. Di dalam dadanya berkecamuk antara menyesal dengan keterpaksaan.
"Ahhhh, aku anak seorang maling. Dan, orang kaya itu tidak akan merasa kehilangan hanya dengan beberapa saja yang aku ambil," gerutunya sambil bergegas menuju jalan. Lampu-lampu di jalan mulai berbinar, malam tiba.
-------- masih akan ada cerita petualangan hidup. Bersambung-------
KAMU SEDANG MEMBACA
RAUNG, SI BANDIT
Kısa HikayeRaung kecil bernama Teguh, diasuh keluarga miskin di sebuah pemukiman kumuh di bawah jembatan. Alur kehidupan keras membawa Raung tumbuh berbeda dari anak kebanyakan. Bram, ayahnya adalah seorang maling. Dan, Astri ibunya mati terbunuh dan jasadnya...