"Berkah Dalem, Suster." Pak Suparno sudah mengganti kaus berkebunnya dengan seragam satpam. Kini dia nongkrong di pos jaga sembari merokok.
"Berkah Dalem, Pak." Irene melirik ke balik punggung dan menangkao basah bocah laki-laki tertawa-tawa. Mulutnya belepotan cokelat.
"Astaga Titus, kenapa nggak masuk kelas? Sini." Irene mengulurkan tangan agar salah satu murid yang kabur itu mengikutinya.
"Hayo, Titus. Sudah dijemput Suster itu." Pak Suparno ikut menyemangati Titus agar mengikuti Irene.
Malu-malu Titus keluar dari persembunyiannya menyambut uluran tangan Irene.
"Makan cokelat lagi. Nanti Mama marah lho," Irene mengingatkan.
Pak Suparno sigap mengambil tisu basah lantas menghampiri Titus.
Irene yang melihat itu menghadang. "Biar saya saja, Pak," ucapnya seraya meminta tisu dari tangan Pak Suparno lantas membersihkan noda di sekitar mulut Titus. Anak itu nyengir.
"Permisi, Pak." Irene menggandeng Titus menuju kelas.
"Kenapa Marcel? Ini sobekan kertasnya ditempel ke kodok."
Langkah Irene terhenti di depan pintu kelas. Dia mengintip dari balik kaca. Dua puluh anak berusia empat dan lima tahun mengelilingi meja pendek warna-warni.
Bu Ira, salah satu guru tengah membujuk Marcel. Anak laki-laki itu bersedih setelah kematian ayahnya beberapa bulan yang lalu. Biasanya Marcel bukan anak yang aktif secara fisik. Cenderung pendiam malah. Irene melihat sosok dirinya dalam Marcel. Introvert.
Sepeninggal sang ayah, Marcel semakin bertambah murung. Bahkan mengikuti kegiatab belajar mengajar saja bocah itu sudah kehilangan semangat. Bu Ira membujuk Marcel menempelkan sobekan kertas warna hijau dan cokelat ke gambar kodok raksasa. Anak-anak lain mengerjakannya secara antusias, sementara Marcel tampak ogah-ogahan.
Irene berjongkok di depan Titus. "Pak Suparno jahatin Titus nggak tadi?"
Titus menggeleng.
"Lain kali jangan main ke pos satpam, Titus. Langsung masuk kelas, ya?" titah Irene.
Bocah laki-laki berponi itu mengangguk tanpa banyak pertanyaan.
Irene mengetuk pintu. "Permisi."
Ira menoleh. "Lho, Titus, makan cokelat di pos satpam lagi ya?"
Titus cuma nyengir lalu bergabung dengan teman-temannya.
"Makasih ya Suster," ucap Ira.
Irene segera keluar. Sebenarnya dia bukan penyuka anak kecil. Malah Irene sering kebingungan menghadapi anak-anak. Itulah kenapa Irene memilih aktif di kebun, berjemur di bawah terik matahari ketimbang berurusan dengan murid Taman Kanak-Kanak asuhan biara.
Akan tetapi, Irene juga punya rasa penasaran. Dunia anak-anak terlihat menyenangkan. Tidak ada kesedihan. Tidak ada beban. Tidak ada tanggung jawab.
"Marcel kangen Papa?" Bu Ira kembali berfokus pada murid yang paling murung. Dia membelai kepala Marcel.
Tetap bungkam, Marcel menopang dagu di atas meja. Irene ikut sedih. Tangan bocah itu tidak semontok dulu, mungkin ibunya mengurangi dana untuk makan dan jajan.
Ayah Marcel bekerja di BUMN yang terkenal dengan gaji tinggi. Ibunda Marcel pernah bekerja tapi setelah kelahiran sang anak, memutuskan jadi ibu rumah tangga dan mengandalkan penghasilan suami. Bulan lalu sang Ibu menghadap Suster Theresia meminta keringanan biaya sekolah.
Irene menghela napas. Dia juga kangen Maurice. Sebelum berangkat ke biara, Maurice mulai sering keluar masuk rumah sakit. Ada-ada saja penyakitnya. Mulai dari batu empedu, masalah prostat, juga sendi. Irene tidak punya saudara kandung yang ikut membantu merawat sang Ayah. Praktis hanya Joyce yang merawat Maurice.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANGGRALOKA
SpiritualDitinggalkan calon istri satu hari sebelum pernikahan dengan alasan yang mengagetkan, Alexius Ishan Nararya tak dapat menerimanya. Hingga bertahun-tahun kemudian dia harus bersinggungan dengan Irene Moretti sang mantan calon istri dalam keadaan ber...