Bab 18

1K 198 70
                                    

Kukuruyuuuuuk!

Ishan menutup telinga dengan bantal. Semalam setelah makan malam berduaan dengan Romo Basuki, Ishan izin masuk ke kamar. Romo Basuki sangat ramah. Malah mengajak Ishan main catur.

Catur? Apa itu? Ishan cuma tahu satpam dan supir papanya sering main catur. Begitu pula OB dan satpam kantor. Permainan rakyat jelata.

Manusia kelas atas seperti Ishan tidak main catur, tapi main saham dan crypto currency. Kalau mau yang agak menantang, mungkin main blackjack di Las Vegas. Tapi catur? Bisa turun harga dirinya.

Sialnya, Ishan tidak bisa tidur. Kasur wisma bukan kasur latex orthopedic buatan Belgia. Tulang belakang harus dijaga. Jangan sampai nyeri apalagi sakit. Kasur busa tipis begini sangat tidak baik dan tidak nyaman. Ishan sulit tidur.

Kukuruyuuuuuk!

Kokok ayam lagi. Ishan tak percaya ini. Tiga puluh tahun menjadi manusia, baru kali ini telinganya sendiri mendengar ayam jantan berkokok. Bukan cuma satu, tapi banyak bersahutan tiada habisnya seperti di peternakan. Jangan salah duga, Ishan tidak cuma mendekam di kantor dan apartemen. Dia juga sering bepergian ke berbagai kota. Baiklah Ishan mengakui dalam setiap perjalanan bisnisnya dia selalu menginap di hotel, minimal bintang 4.

Seraphina Nararya, ibunda Ishan cerewet mengingatkan soal kesehatan. Maklum saja, beliau seorang dokter. Paranoid mengenai penyakit. Seraphina tak bosan mengingatkan Ishan untuk tinggal di lingkungan yang bersih, menyantap makanan bergizi dan higienis.

Kukuruyuuuuuk!

Ishan tidak tahan lagi. Perlahan dia bangun. Astaga, bahunya sakit akibat semalaman menahan bobot tubuh. Pinggangnya kaku. Ishan meraih ponsel di atas meja. Pukul 03.45 pagi. Baru 4 jam dia tidur. Kurang dari 8 jam. Tidurnya tidak berkualitas dan ayam-ayam sialan tak punya adab itu seenaknya membangunkan.

Ishan merapikan kasur lalu membuka jendela. Langit masih gelap. Namun ayam-ayam itu bagaikan tengah menggelar konser metal. Memekakkan telinga bukan main. Ishan mau keluar saja.

Baru membuka pintu, udara dingin langsung masuk tanpa permisi. Ishan menutupnya lagi. Diambilnya jaket yang kemarin dibeli di mall.

"Pagi, Mas Ishan." Romo Basuki menggenggam mug. Dari aroma yang menguar, Ishan yakin itu air rebusan jahe, kayu manis, dan sereh.

"Pagi, Romo?"

"Bagaimana tidurnya? Nyenyak tho? Ndak perlu pakai AC sudah adem." Romo Basuki melirik jaket Ishan.

"Pagi. Lumayan, Romo. Apa di sini ada peternakan ayam?"

"Rata-rata warga sekitar memang memelihara ayam. Ada ayam petelur, ayam pedaging, ada juga ayam adu. Ini yang saya suka dari suasana pedesaan. Alarm alami." Romo Basuki berseloroh.

Alarm alam dari Hongkong. Ishan rasanya inging balas dendam tidur kalau ayam-ayam itu berhenti mengoceh.

Romo Basuki mengangkat mug. "Mau? Pagi-pagi minum wedang jahe sehat lho, Mas."

Siapa yang butuh wedang jahe? Ishan menutup mulut yang menguap lebar. Dia butuh kopi.

"Kalau kopi ada, Romo?" tanya Ishan.

"Di biara atau di panti jompo biasanya ada."

"Mungkin mereka belum bangun ya?"

"Pasti sudah. Suster punya jadwal teratur setiap hari. Bangun pukul 4 pagi. Membereskan kamar masing-masing, lalu siap-siap ibadat pagi pukul setengah lima. Nanti pukul 6 perayaan ekaristi. Mungkin setelah itu Mas Ishan bisa minta kopi."

SANGGRALOKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang