Restoran Jepang. Selain masakan Italia, Irene menyukai masakan khas negeri Kaisar Naruhito. Secara rasa memang agak jomplang, masakan Italia penuh rempah, keju, susu, dan tomat. Berani menggoyang lidah dengan berbagai rasa. Sementara masakan Jepang cenderung malu-malu sebagaimana penduduknya yang bertata krama.
Irene tidak ingat kapan terakhir kali makan ramen. Favoritnya apa saja asalkan berkuah tonkotsu dari kaldu tulang babi. Sulit ditemui, tapi Irene punya satu kedai langganan di daerah Setia Budi.
"Ada ramen, Rene." Ishan tahu Irene paling sulit menolak ajakan makan mie khas Jepang itu.
Mengingat belanjaan Ishan yang super banyak, dia perlu space yang cukup lega. Ishan memilih meja dengan dua seat memanjang dan ada busanya berhadapan. Seat yang Ishan tempati langsung penuh. Barang-barangnya diletakkan di sisi yang berbatasan dengan dinding. Itu pun masih tidak muat.
"Titip ini." Ishan menyerahkan sebagian belanjaannya pada Irene.
"Bapak masih boros saja." Irene menerima paper bag lalu menjajarkannya di samping.
"Boros itu kalau kamu punya uang satu juta rupiah tapi belanja tiga juta rupiah. Pinjam teman, keluarga, pinjol. Kalau aku sudah menyisihkan 60 persen penghasilan untuk investasi, asuransi, dan tabungan. Sisanya aku belanjakan. Itu pun nggak habis. Di mana letak borosnya?" Ishan membela diri. "Lagipula hidup paling berapa lama sih? 80 tahun sudah lama banget. Kalau kamu jadi aku, kerja keras, punya uang, sanak saudara banyak. Harta nggak dinikmati mau buat apa? Malah jadi bahan sengketa keluargaku. Aku bukan firaun yang kalau mati bawa emas permata ke kuburan. Paling nanti hartaku diperebutkan yang masih hidup."
"Bapak nggak berpikir buat anak dan istri?"
Ishan terkekeh. "Sejak kamu membatalkan pernikahan kita, aku nggak mikir untuk menikah."
Wajah putih Irene kehilangan rona selama beberapa detik. Ishan tampaknya tidak ingin membiarkannya pergi tanpa rasa bersalah.
"Jangan bilang begitu. Bapak pasti akan menemukan perempuan yang baik sayang sama Bapak."
Ah, kenapa ada rasa janggal menyelinap di perutnya? Irene mendoakan Ishan berbahagia setelah pembatalan pernikahan. Namun, haruskan kebahagiaan yang dimaksud bersama perempuan?
"Kenapa kamu pengen aku menikah? Apa supaya kamu nggak merasa bersalah sudah bikin aku menderita?"
Kerongkongan Irene terasa kering kerontang mendadak. Ishan menohoknya tanpa ampun.
"Permisi, ini menunya." Pelayan restoran menyelamatkan Irene dari kecanggungan. Gadis muda itu menghampiri serta mengangsurkan dua buku menu. "Kalau siap memesan, silakan panggil saya."
Ishan kembali ke mode elegan. Irene tahu kemampuan akting Ishan lumayan bagus. Belum semumpuni Reza Radian, tapi air mukanya bisa berubah cepat menyesuaikan situasi dan kondisi.
"Tobiko sushi dan salmon sushi sepertinya enak." Ishan menggumam saat membolak-balik buku menu. "Nggak ada ramen kuah tonkutsu, tapi ada salmon ramen kuah kari. Kesukaan kamu nih, Rene. Kamu pernah bikin kan ya dulu?"
"Ini tujuan Bapak," ucap Irene.
Kepala Ishan mendongak dari buku menu. "Apa?"
"Bapak live in di biara untuk bikin saya merasa bersalah."
"Geer juga ya kamu. Aku memang mikirin kamu, tapi nggak 24 jam per hari dan tujuh jam seminggu. Banyak pekerjaan menyita waktu dan pikiranku."
Irene tidak percaya begitu saja. Ishan blak-blakan, tapi bukan berarti selalu jujur. Terkadang dia asal bicara sengaja untuk menyakiti atau membuat salah tingkah lawan bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANGGRALOKA
SpiritualDitinggalkan calon istri satu hari sebelum pernikahan dengan alasan yang mengagetkan, Alexius Ishan Nararya tak dapat menerimanya. Hingga bertahun-tahun kemudian dia harus bersinggungan dengan Irene Moretti sang mantan calon istri dalam keadaan ber...