Bab 23

986 215 43
                                    

Tiga hari berselang setelah insiden Irene lancang menerima telepon Fabiola untuk Ishan. Selama itu pula Irene sulit tidur saat malam tiba. Setiap kali memejamkan mata, mimpi buruk menghampirinya. 

Bukan didatangi hantu. Irene tidak takut makhluk halus. Romo Basuki mengajarkan doa-doa pengusiran roh jahat seperti yang ada di film-film. Biara ini sudah berusia satu abad lebih, tapi Irene tidak pernah merasakan keangkeran. Sebaliknya jiwanya senantiasa merasa tenang. 

Oleh karena itu, mimpi buruknya tidak berhubungan dengan setan sama sekali melainkan melibatkan gaun putih. Bagaimana gaun putih bisa mengerikan? Ya, kalau gaun dan kerudung putih itu dikenakan Fabiola yang berjalan menuju altar bersama Ishan. 

Keringat dingin mengucur deras di kening Irene setiap kali mimpi itu datang. Kerongkongannya kering. Irene harus menghabiskan dua gelas air untuk meredakan jantungnya yang bertalu-talu. 

Irene tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Bukankah tekadnya masuk biara sudah bulat? Irene berani menentang dunia, membatalkan pernikahan, pergi ke tempat yanh jauh dari keluarga demi sesuatu yang katanya panggilan iman. Kalau benar demikian, lalu perasaan apa yang kini bersarang di hatinya? 

Ishan berhak menikah dengan perempuan mana saja. Irene tidak seharusnya merasa dikhianati, tidak seharusnya merasa marah, tidak seharusnya merasa sakit hati. 

Malah seharusnya Irene berbesar hati karena Ishan menjalin hubungan dengan sahabatnya. Lalu kenapa Irene justru merasa sebaliknya? 

***

"Mata kamu cekung." Sehabis ibadah pagi, Ishan menunjuk kantong matanya sendiri untuk memberitahukan pada Irene betapa cekung dan hitam miliknya. 

Cuma kurang tidur tiga hari saja, efeknya sudah tampak jelas di mata Ishan. Irene heran, padahal saat bercermin tadi, dia tidak menemukam keanehan. Mungkin mata Ishan terlalu jeli sampai bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat. 

"Beberapa hari ini udara panas," kelit Irene. 

"Oh ya? Aku malah nggak pernah kepanasan selama di sini. Sejuk banget. Kamu tahu sendiri selama di Jakarta, aku paling nggak bisa jauh dari AC."

Irene mengulum senyum. Ishan sudah kaya raya sejak dalam kandungan. Mana pernah dia merasakan derita? Mood Ishan bisa jelek hanya karena kepanasan sedikit saja. 

"Bukan karena kejadian waktu itu makanya kamu nggak bisa tidur?" singgung Ishan. Irene pun tahu kejadian apa yang dimaksud.

Irene menoleh sejenak. Ishan selalu blak-blakan. Tak peduli kondisi hati lawan bicara, Ishan akan mengungkapkan isi hatinya. Egois memang, tapi Ishan termasuk lebih baik dibandingkan teman-teman Irene lain yang juga punya nenek moyang kaya raya.

"Tentu bukan, Pak Alex. Bapak bebas mau menikah dengan siapa saja," ucap Irene cukup meyakinkan. 

Ishan meneliti air muka Irene. Namun Irene paling ahli menyembunyikan suasana hati. Air mukanya sering datar dan sulit ditebak. Agak aneh memang sebab biasanya laki-laki lah yang memiliki keahlian poker face sementara perempuan jauh lebih ekspresif.

"Aku nggak menikah sama Fabiola. Kami cuma bersenang-senang."

Telinga Irene ternistai. Telinganya sangatlah suci. Setiap hari hanya mendengarkan doa, kidung pujian, serta firman Tuhan. Tak patut rasanya menyimak hal-hal cabul. Sudahlah, cara Ishan bersenang-senang bukan urusannya. Irene mengangguk sembari terus berjalan menuju gedung TK. 

"Berkah dalem, Suster." Anna, salah satu aspirant tengah mengepel selasar menyapa Irene dalam langkah menuju ruang guru. 

"Amin. Berkah dalem." Irene membalasnya.

SANGGRALOKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang