Bab 26

1.3K 235 139
                                    

"Suster Irene, hari ini dampingi Romo Basuki ke RS ya." Suster Elizabeth memberi kabar tiba-tiba saat Irene hendak kembali ke biara. Dua jam lagi tiba waktu makan siang. Hari ini jadwalnya memasak.

Bagian yang sangat jarang Irene jamah adalah rumah sakit. Satu orang suster bertugas mendampingi Romo Basuki memberikan komuni dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit bagi pasien beragama Katolik. Suster senior tersebut sudah dipercaya Romo Basuki selama seperempat abad sejak Romo Basuki ditugaskan menggembalakan umat di sini.

"Kenapa saya? Nggak biasanya." Irene sedikit curiga Suster Elizabeth mengerjainya. Maklumlah suster yang satu ini memang suka iseng.

"Suster There nggak bisa bangun."

"Maksudnya gimana? Sakitkah beliau?" Seharian Irene belum melihat Suster Theresia.

"He eh. Biasa."

Suster Theresia, biarawati tahap seniorat sudah berusia 60 tahun. Lebih dari 40 tahun mengabdikan diri sebagai mempelai Tuhan. Kondisi fisiknya tidak muda lagi. Asam uratnya sering kambuh. Siang ini sang Suster sepuh meminta izin absen menemani Romo Basuki. Kakinya sangat bengkak sehingga menyakitkan untuk berjalan.

Di luar prediksi, Suster Theresia menunjuk Irene menggantikannya. Irene heran sebab dirinya kurang dekat dengan Suster Theresia. Irene memang cenderung suka menyendiri. Kalau untuk kepentingan pekerjaan, Irene tidak masalah bertemu orang-orang. Namun kalau hanya untuk mengobrol, Irene kurang tertarik. Suster lain pun sungkan mengganggu Irene. Cuma Suster Elizabeth yang berani melontarkan candaan padanya.

"Kenapa saya?" tanya Irene waswas. Sesungguhnya dia sangat menghindari kawasan rumah sakit.

"Tadinya saya yang disuruh." Suster Elizabeth mengakui, "tapi saya mau masak aja."

Irene bengong. Memang cuma Suster Elizabeth yang berani memberontak perintah senior. Hanya saja Irene agak heran, biasanya Suster Elizabeth suka ke rumah sakit terutama ke IGD. Sambil cuci mata katanya. Banyak dokter muda. Kalau ada penobatan biarawati paling gagal mengekang nafsu duniawi, pasti Suster Elizabeth juaranya.

"Suster Elizabeth sudah nggak tertarik sama dokter lagi kah?" Irene penasaran juga.

"Begini, Suster Irene, saya baru sadar kalau laki-laki itu nggak cukup good looking saja, tapi juga harus good rekening."

Kenapa jadi menyambung ke rekening, Irene menebak alur pembicaraan Suster Elizabeth.

"Nggak ngerti ya Suster Irene?"

Irene sontak menggeleng.

Dua sudut bibir Suster Elizabeth melengkung ke atas. "Calon dokter umum ternyata nggak semuanya kaya. Sudah begitu, menjadi dokter ternyata nggak jaminan kaya. Keponakan saya yang masuk FK dua tahun lalu curhat, cerita kalau gaji seniornya yang sudah lebih dulu lulus mengenaskan, terutama setelah ada BPJS. Gajinya, ah, nggak seberapa."

"Lalu?" Irene masih kurang paham.

"Maka dari itu saya memutuskan untuk lebih realistis. Mau cuci mata dengan cara memandangi ciptaan Tuhan yang good looking dan good rekening."

"Hah?"

Suster Elizabeth tak banyak bicara, malah mengarahkan dagu pada Ishan yang tengah mengobrol dengan anak-anak.

"Good looking, good rekening, good parenting. Lama-lama saya sinting dan prinsip menjadi biarawati miring."

Irene menepuk jidat. "Sebelum kaul kekal, belum terlambat kalau mau keluar dari biara."

Bukannya mau menghasut, Irene realistis. Biarawati di sini tidak semua punya niat bulat mau melayani Tuhan. Ada saja perempuan yang mau membiara karena kemiskinan. Setidaknya di biara terjamin sandang, pangan, papan. Suster Elizabeth lahir dari keluarga sangat miskin. Mungkin motivasi menjadi biarawati berbeda dengan biarawati lain.

SANGGRALOKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang