Keluarga Nararya beragama Katolik sejak zaman Suharnoko, eyang buyut Ishan. Eyang Yut bekerja di rumah orang kaya Belanda di Jepara sebagai tukang kebun. Beliau menganut kepercayaan kejawen. Akan tetapi karena pada masa itu orang Jawa kebanyakan miskin kecuali kaum bangsawan dan orang Belanda, maka pikiran Eyang Yut sederhana. Kalau mau kaya, jadilah seperti orang Belanda.
Diam-diam Eyang Yut mengamati kebiasaan keluarga Belanda itu. Nyonya rumah beserta anak perempuannya mengenakan kalung salib. Di dinding ruang tamu digantung salib besar serta sulaman Perjamuan Terakhir Yesus dengan para muridnya hasil karya sang Nyonya Rumah. Keluarga itu rutin membaca Alkitab, menyanyi lagu rohani, dan misa di gereja.
Oleh karenanya, Eyang Yut mengikuti keluarga itu ke gereja pada suatu Minggu pagi. Tentu saja Eyang Yut kecil bertemu dengan keluarga itu di gereja dan dengan senang hati mengajarinya mendalami agama Katolik. Sikap sang Nyonya Rumah juga jadi lebih ramah, yang semula cuma bertanya selewat, perlahan membukakan pintu rumah bahkan mengajak Eyang Yut makan bersama. Pendeknya, Eyang Yut merasa diterima.
Kebaikan keluarga sang majikan bermuara pada sebuah keputusan besar. Eyang Yut dibaptis kala menginjak usia 12.
Budi baik Keluarga Belanda itu berlanjut. Eyang Yut dimasukkan ke sekolah. Bukan sekolah bersama anak-anak Belanda, tetapi sekolah rakyat. Tak apa, cukuplah membuka mata Eyang Yut akan megahnya dunia.
Kemampuan memotong rumput ditambahkan pengetahuan lain. Huruf dan angka. Bahasa Melayu dan sedikit Belanda. Eyang Yut banyak membaca terutama Geografi. Buku membantunya terbang ke dunia lain, mengagumi keanggunan piramida, bercita-cita mengitari Coliseum di Roma. Mana mungkin melancong ke belahan lain dunia jika tidak kaya raya?
Lagi-lagi Eyang Yut mengamati bagaimana sang majikan bisa punya rumah besar serta kendaraan roda empat. Bukan kereta kuda tetapi mobil. Cadillac hijau pucat berbodi menggembung. Semua mata terpesona setiap kali Cadillac membelah jalan tanah. Sedikit saja yang bisa punya mobil pada zaman itu.
Majikan Eyang Yut pedagang rempah. Eksportir cengkeh, merica, pala ke Eropa. Eyang Yut minta diajari jadi kaya. Tak peduli meski awalnya ditertawakan, yang penting beliau menunjukkan kesungguhan. Hati sang Tuan luluh. Eyang Yut diajari berdagang tembakau kecil-kecilan pada guru di sekolah.
Begitu Jepang datang mengusir Belanda, majikan Eyang Yut turut menjadi korban. Eyang Yut Suharnoko terpaksa melarikan diri. Dalan pelariannya beliau mengubah namanya menjadi Nararya, yang berarti 'Dimuliakan'. Eyang Yut bercita-cita beliau serta keturunannya menjadi orang yang mulia.
Setidaknya harapan Eyang Yut terkabul. Anak-anaknya sukses dengan pilihan karier masing-masing.
Josef Nararya, salah satu putranya berkawan dengan pengusaha Tionghoa. Pergaulannya itu lah yang membuka pikirannya. Jika teman-teman seumurannya memilih masuk angkatan bersenjata, kepolisian, atau menjadi pagawai pemerintah, Josef mengambil jalan berbeda. Berbisnis adalah cara menjadi kaya. Terbukti dengan berjayanya Nararya Group.
Josef selalu mengajarkan bahwa uang bisa menyelesaikan 80% masalah di dunia. Pemikiran itu diturunkan pada ketiga anaknya dan enam cucunya.
***
Berbekal kepercayaan diri, Ishan masuk ke ruang Suster Kepala. Skenario tersusun di kepala. Pastinya dia akan menawarkan uang. Siapa yang tidak butuh uang sekalipun statusnya adalah pelayan Tuhan?
"Selamat pagi, Suster Beatrix." Irene membuka pintu. Tidak dikunci.
"Suster Irene." Suster Beatrix menutup buku yang tengah dibaca. Perempuan tua yang menyambut sapaan Irene berperawakan ramping. Benar, usianya sudah lanjut, sekitar 60 tahun. Akan tetapi kelembutan membekas di wajah yang dihiasi kerut serta pigmen penuaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANGGRALOKA
EspiritualDitinggalkan calon istri satu hari sebelum pernikahan dengan alasan yang mengagetkan, Alexius Ishan Nararya tak dapat menerimanya. Hingga bertahun-tahun kemudian dia harus bersinggungan dengan Irene Moretti sang mantan calon istri dalam keadaan ber...