"Siapa yang suami orang?" tanya Ishan.
Sekarang sudah siang sementara perut Irene melilit. Kepalanya masih berdenyut seakan ada palu menggetok dari dalam. Dia sungguh tidak berminat berdebat.
"Sudahlah, nggak penting." Irene beringsut dari kasur. Teh manis pemberian Ishan mulai bekerja. Pandangannya mulai jelas. Meskipun belum terlalu kuat, tapi dia yakin bisa berjalan kaki sampai ruang makan biara.
"Penting." Ishan berdiri menjulang menghalangi langkah Irene. "Selesaikan kalimat tadi, siapa suami orang yang kamu maksud."
Ishan bisa bercanda, akan tetapi jangan tanya bagaimana menyeramkannya dia saat dalam mode serius. Irene merasa terintimidasi.
"Lupain saja." Irene membuang muka agar tidak perlu bertatapan langsung dengan Ishan.
"Tidak bisa. Aku mau semua jelas." Ishan mendesak dengan keras kepala.
Irene masih diam. Cuma ingin pergi dengan tenang ke ruang makan saja bisa sedrama ini. Ya ampun. Irene benci drama. Biara jauh dari drama. Kedatangan Ishan merampas kedamaiannya.
"Irene," panggil Ishan sehingga Irene menghela napas.
"Bukannya Bapak sudah menikah?"
"Siapa yang bilang?"
Gawat, Ishan bisa tahu kalau Irene menjawab ponselnya. Tindakan tidak sopan. Ishan benci jika privasinya diusik tanpa izin.
Irene menggeleng. Dia menggeser langkah ke kiri, mencari jalan keluar. Namun Ishan ikut ke kiri, menutup jalan. Irene ke kanan, Ishan ikut ke kanan.
"Pak, tolong," pinta Irene.
Ishan mengulurkan jemari dari dua tangannya ke hadapan wajah Irene. "Apa kamu melihat cincin?"
Tidak. Sejak awal datang ke biara, Irene tidak melihat Ishan mengenakan cincin. Seingat Irene, Ishan bukan tipe laki-laki pesolek. Tidak ada satu pun perhiasan menempel di tubuhnya kecuali manset dasi.
"Sudahlah lupakan." Irene terpojok sekarang. Bagaikan pencuri yang ketahuan, Irene merasa perlu kabur.
"Selesaikan semua yang sudah kamu mulai, Rene, termasuk ucapan. Kamu tahu aku paling tidak menyukai semua yang serba setengah-setengah."
"Oke, saya mengaku, tapi terlebih dahulu saya mau minta maaf. Saat Bapak ke toilet, HP Bapak berbunyi..."
"Dan kamu mengangkatnya," Ishan melanjutkan.
"Maaf."
"Fabiola yang menelepon." Ishan akhirnya paham biang kericuhan ini.
Irene mengangguk pelan. "Dia bilang kangen."
"Apa lagi?"
"Entahlah." Irene menunduk malu teringat ucapan Fabiola yang mengerikan menurut telinganya. "Maaf kalau salah paham."
Irene mengatakan itu hanya supaya Ishan melepaskannya. Namun justru sebaliknya yang terjadi. Ishan tersenyum.
"Kamu mau aku menjelaskan?"
Irene menggeleng. Bukan urusannya.
"Tapi aku mau jelaskan. Aku dan sahabatmu nggak ada hubungan selain saling memenuhi kebutuhan."
"Kebutuhan," gumam Irene nyaris berbisik.
"Kebutuhan biologis. Sampai sini kamu paham kan? Selama kita pacaran, aku pernah meminta, tapi kamu menolak. Aku hargai pendirianmu, tapi lama-lama aku sadar punya kebutuhan. Aku cuma butuh sex partner yang bersih."
Apa yang Irene lakukan di masa lalu sudah benar secara agama. Menolak berhubungan badan sebelum menaikah memang sudah seharusnya. Dia lupa mempertimbangkan bahwa Ishan punya kebutuhan. Pipinya memanas membayangkan Ishan dan Fabiola bergelut di ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANGGRALOKA
SpiritualDitinggalkan calon istri satu hari sebelum pernikahan dengan alasan yang mengagetkan, Alexius Ishan Nararya tak dapat menerimanya. Hingga bertahun-tahun kemudian dia harus bersinggungan dengan Irene Moretti sang mantan calon istri dalam keadaan ber...