4

97 66 33
                                    

Selain penjualan mie ayam, Puspita kini termasuk orang yang selalu bisa menarik perhatian. Aksep bahkan rela berlari-larian untuk mengejar, jika salto di jalan diperbolehkan mungkin laki-laki itu juga sudah melakukannya saking kesenangan.

Aksep merasa adrenalinnya terpacu semenjak Puspita mengatainya brengsek, padahal dia tidak melakukan apa-apa.

Ya--kecuali banyak tanya, seperti yang Puspita katakan padanya.

Ah, gebetannya itu memang luar biasa.

Aksep jadi tidak sabar untuk me-officiall-kan hubungan mereka.

Bagaimanapun caranya, Puspita harus mengganti kata brengsek yang telah disematkan padanya dengan kata sayang yang gadis itu punya.

"Pus, pulang bareng saya, nya," ujar Aksep yang terdengar memerintah, alih-alih bertanya.

Puspita tidak menghiraukannya, gadis itu justru mempercepat langkahnya, dan Aksep tidak menyerah begitu saja.

Bagaimanapun, Aksep kini rela kerepotan demi Puspita. Tujuannya adalah agar Puspita sadar bahwa dia tidak brengsek seperti yang dipikirkannya. Namun, saat melihat Siena duduk di halte sendirian, Aksep melimpir tidak jadi mengejar.

"Udah lama?" tanyanya.

Ah, dia merutuk sisi baiknya.

Kenapa dia susah sekali bilang tidak?

Padahal jelas-jelas tawaran yang diberikan padanya itu konyol menurutnya.

"Akhirnya lo datang," sambut Siena begitu Aksep berdiri di depannya. Terpancar sorot penuh kelegaan di mata bulatnya, menarik, terapi Aksep justru mengalihkan pandangan.

Tidak ada gadis yang lebih menarik dari Puspita, pikirnya.

Entah kenapa Aksep merasa menyesal. Apalagi saat melihat Puspita masuk ke dalam angkot yang penuh dengan penumpang.

Harusnya saya anterin dia pulang.

"Langsung aja," ujar Aksep membuka pembicaraan, keduanya baru saja duduk di sebuah kafe depan sekolahan.

"Saya tetep enggak bisa," lanjutnya.

Siena meremas tangannya. "Kenapa?"

Aksep menggaruk hidungnya. Bingung harus menjawab apa, sekaligus kesal dengan gadis di depannya. "Sorry aja, ya Na. Saya enggak suka diatur."

--

"Baru pulang?"

Puspita menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah sumber suara.

Bagus keluar dari dapur yang bersebrangan dengan kamarnya. Tak mendapat jawaban, remaja laki-laki yang satu tahun lebih tua dari Puspita itu menaikkan sebelah alisnya. "Pulang naik apa?" tanyanya.

"Naik angkot," jawab Puspita.

Bagus mengangguk sekilas, dan berlalu dari hadapan adiknya setelah mengatakan, "Gue ada kerjaan nanti malem, lo jaga diri di rumah, kunci pintu sama jendela, jangan sembarangan masukin orang."

Puspita menghela napasnya. "Iya," jawabnya yang dia yakini masih bisa didengar Bagus yang kini telah sampai di depan pintu kamarnya.

Belum lama, laki-laki itu kembali keluar dari kamarnya. Tepat saat Puspita hendak melangkah.

"Dek," panggilnya.

Puspita berbalik. "Iya?"

"Masih ada uang, enggak?"

"Ada."

Bagus merogoh saku celananya. "Sini," pintanya.

Puspita menurut dan mendekati kakaknya. "Nih, simpen," ujar Bagus sambil menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah muda ke tangan adiknya.

Parah ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang