Puspita menatap hujan dari balik jendela berembun di sampingnya. Tangannya terulur seakan ingin merasakan tetesan air dari langit itu yang sedang turun. Rindu, dia rindu kehangatan dalam keluarganya.
Matanya memanas tanpa dia minta.
Semalam lagi-lagi gadis itu mendengar percakapan yang seharusnya tidak dia dengar.
"Cie, gebetan lagi mikirin saya."
Puspita menoleh, lantas sorot sendunya tergantikan dengan wajah sangar. "Apaan sih, sok tahu banget!" juteknya.
Dengan kasar gadis itu mengusap kedua matanya.
Aksep terkekeh dan mengambil duduk di sampingnya. "Pus, kalau saya tanya, kamu bakal jawab saya jujur apa enggak?"
Bukannya menjawab, gadis berambut sepinggang itu lebih memilih kembali membaca bukunya. Sebenarnya, dia hanya ingin sendiri di perpustakaan ini. Namun, keinginan sekecil itu saja tidak bisa diwujudkan ... seolah harapan apa pun yang dia inginkan adalah sebuah kemustahilan.
Tanpa sadar, Puspita menghela napas panjang.
Aksep heran, kenapa perempuan khususnya yang ada di sebelahnya itu ... lebih memilih memendam daripada mengutarakan.
Padahal apa susahnya sih jujur sama dia, bilang gitu kalau suka, enggak perlu natap hujan sampai segitunya.
Laki-laki itu jelas melihat, bahwa sebenarnya Puspita itu orang yang tertekan ... lihat saja tubuhnya, tipis, tidak ada yang menonjol dari bagian-bagian yang seharusnya ada pada perempuan.
Beneran datar!
Tidak seperti angsa yang dia bayangkan.
Bohay
Aksep terkekeh pelan.
"Berisik!" seru Puspita sambil mendelik ke arah laki-laki di sampingnya.
Bukannya diam, Aksep justru terbahak-bahak mendengarnya. Beruntunglah di perpustakaan ini hanya ada mereka berdua. Jika tidak, habislah dia.
Beruntung juga karena dia bisa bertemu Puspita, tanpa ada unsur direncanakan sebelumnya.
Memang jodoh enggak akan ke mana. Pikirnya.
Tadinya memang Aksep berencana untuk pedekate seperti orang-orang zaman dulu, pakai puisi. Makanya Aksep ke perpustakaan.
Coba tebak, kenapa harus ke perpustakaan?
Yup! Benar! Karena dia berniat mencari contekan.
Parah, kan.
Yang penting berusaha, kan.
Cari contekan juga tidak mudah kawan!
Ok, abaikan.
Merasa suasana hatinya memburuk karena kesal, Puspita pun beranjak hendak keluar, tetapi pergelangan tangannya ditahan.
Aksep mendongak. "Kamu enggak capek, apa?"
Dengan posisi Puspita yang berdiri menunduk ke arahnya, Aksep menatap iris gelap itu dengan sorot tegasnya yang jarang laki-laki itu perlihatkan. "Kamu enggak capek?" ulangnya, "saya aja capek lihatnya. Kamu murung itu kenapa? Sini coba cerita sama saya."
Awalnya Aksep senang karena bisa dipertemukan dengan sang gebetan, tetapi sekarang dia terusik, kawan. Puspita sedih entah karena apa, dan dia tidak suka melihatnya. Aksep lebih senang Puspita yang tengah kesal daripada galau.
Menyadari Puspita yang tidak berniat menjawabnya, Aksep kembali memasang wajah tengilnya. "Kalau suka sama saya mah, bilang aja atuh Pus. Jangan sedih gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Parah ✅️
Ficção Adolescente[Tamat, part masih lengkap jangan lupa tinggalkan jejak] "Puspita saya tadi cari kamu." "Mau apa?" Agas tampak memutar matanya di atas sana, dan Aksep tentu senang. Jika Puspita tidak peka, tidak apa-apa. Kan dia bisa mengatakan terus terang padany...