23

7 1 0
                                    

Move on terbaik itu memang melihat orang yang kita sukai bersama orang lain, meski belum jelas itu pacarnya atau bukan. Yang pasti kamu sudah tidak memiliki kesempatan untuk berjuang.

Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Bagus jika Puspita sudah bersama Agas kan. Lelaki itu sudah lama sadboy. Aksep sih santai, dia tampan, baik hati, rajin menabung, pintar. Duh jadi pikmi kan.

Dengan percaya diri yang melambung tinggi Aksep melangkahkan kaki di tempatnya mengenyam pendidikan kini. Terhitung sudah setengah tahun dia kembali ke rumah, dan kini jadi mahasiswa baru di sebuah universitas swasta ternama.

"Oy, Cep. Mau ke mana?!"

Aksep berbalik, menemukan teman barunya yang tengah nangkring dengan sahabatnya depan ruang perpustakaan.

"Saya mau ke kelas."

Lelaki yang memiliki nama Devandra itu terkekeh. "Rajin amat lo, Cep. Sini deh."

Aksep mendekat, melirik sekilas gadis manis berkulit agak gelap yang berasal dari tanah jawa di samping Devandra.

"Naon? Saya gak mau jadi nyamuk ah."

Devandra tergelak. "Nyamuk apaan, udah gue bilang gue sama si Gendis cuma sahabatan."

Aksep mengendikan bahunya acuh. "Terus kamu mau apa? Saya ada kelas bentar lagi."

Devandra melirik gadis manis di sampingnya, "Si Gendis ada kelas bareng lo. Sekalian ajak dia."

Aksep kembali melirik gadis di sampin Devanda. Kini dia lebih berani menatap netra coklat gadis itu. "Kenapa gak sama kamu aja?"

"Gue kan gak ada kelas bareng lo," balas Devandra.

Aksep mengangguk. "Ya udah ayo."

Tanpa menunggu reaksi Gendis, lelaki itu berbalik melanjutkan langkahnya.

Devanda mendorong punggung gadis berkemeja itu. "Sana! Gue mau cari cewe."

Gadis yang didorongnya menatap Devandra tak yakin. Namun, anggukan tegas lelaki itu membuatnya mengembuskan napas dan berjalan menyusul lelaki tampan kelahiran tanah sunda di depannya.

Devanda belum beranjak dari tempatnya. Lelaki itu membuang napas, dan berkata, "Semoga si Aksep mau jagain Gendis buat gue."

Lelaki itu menepuk dadanya, dan masuk ke dalam perpustakaan.

Tidak ada mencari perempuan seperti perkataannya. Dia memilih menyumpal telinga dengan earphone dan membuka sebuah buku yang cukup tebal.

Gendis berlari kecil menyamai langkah Aksep. Lelaki itu tampak dingin.

"Um, kamu ...."

Gendis menggantung ucapannya, menimbang-timbang apa boleh dia meminta lelaki itu duduk di dekatnya.

Aksep menoleh tanpa menghentikan langkahnya. Sudah lebih sebulan dia melihat gadis itu tanpa berniat mengajak berbicara, gadis yang mengintili Devandra--temannya ke mana-mana.

"Apa?" Aksep bertanya.

"Aku boleh duduk samping kamu?" Mata coklat itu membalas netra tajam Aksep yang menyorotnya dalam.

Gendis gelisah, selama ini hanya Devandra yang dekat dengannya.

Aksep menghela napas. "Boleh. Gak usah gugup sama saya. Kamu keliatan tertekan, saya gak makan orang."

Gendis mengerjapkan mata. Sejenak terdiam di tempatnya, sampai tertinggal beberapa langkah dari Aksep.

Lelaki itu berbalik, menatap Gendis yang juga tengah menatapnya. "Ayo!"

Gendis mengerjap, kembali menyamai langkah Aksep yang kini lebih lambat dari sebelumnya. "Terima kasih."

Lelaki itu meliriknya. "Gak apa."

Parah ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang