PROLOG

319 38 26
                                    

Suara cempreng Bu Ajeng terdengar melengking, memecah keheningan pagi. Satu per satu tetangga yang penasaran dan ingin tahu apa yang sedang terjadi di rumah yang berada tepat di samping lapangan bulutangkis komplek itu mulai berdatangan dan berkerumun di lapangan.

Bisik-bisik menguar, setiap orang tak ubahnya seorang detektif ulung yang mencoba memberikan analisa dan perkiraan apa yang sedang terjadi di dalam rumah. Mengingat suami Bu Ajeng termasuk salah satu tokoh yang cukup disegani warga komplek, tak ada satu pun warga yang berani untuk mengetuk pintu dan sekedar bertandang untuk memastikan segala spekulasi yang beredar itu salah.

Suara teriakan penuh rasa putus asa terdengar silih berganti dengan denting perabotan yang sengaja dibanting sang pemilik rumah.

"Kamu tidak boleh pergi! Ingat, Pam ini adalah rumah kamu!" jerit Bu Ajeng histeris.

Pambudi tak lagi mengindahkan permintaan sekaligus perintah dari wanita yang selama ini selalu dituruti setiap kata-katanya. Hatinya sudah terlanjur sakit dengan semua ucapan dan sikap turut campur yang selalu ditunjukkan sang ibu. Setiap pasangan yang telah menikah, tentu ingin bisa segera dikaruniai momongan, sebagai bukti penyatuan dua insan yang saling menyatu.

Namun sebesar apapun mimpi yang dimiliki, sekuat apapun seorang hamba berusaha untuk mewujudkan impian itu, tetap ada scenario Tuhan yang bekerja dalam hidupnya. Sebagai umat yang beragama, baik Raisa maupun Pambudi sangat yakin bahwa jodoh, kematian dan rezeki sesuatu yang sudah ditetapkan sejak manusia masih berada di alam ruh dan tak akan pernah bisa tertukar.

Dengan napas yang memburu, Pambudi terus memasukkan barang-barang pribadi miliknya dan Raisa yang akan dibawanya keluar dari rumah yang telah ditempati puluhan tahun, sejak dia lahir hingga kini telah berusia 33 tahun.

"Jika memang ada yang harus keluar dari rumah ini, maka orang itu adalah Raisa bukan kamu!" Bu Ajeng yang merasa semakin panic dan tak tahu harus bagaimana agar sang putra bersedia mengurungkan niatnya, semakin membabi buta dengan mengeluarkan caci maki dan kata-kata pedas.

Mata Bu Ajeng nyalang menatap ke arah Raisa yang hanya mampu bergeming di sudut ruang keluarga. Seluruh tubuhnya menggigil, tak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana pun kedua orang yang sedang berdebat itu adalah orang-orang yang sangat dicintainya.

"Mas, apa tidak sebaiknya kita batalkan rencana kepindahan kita dari rumah ibu?" demi tak kuasa melihat perassaan terluka dalam sorot sepasang mata Bu Ajeng, dengan menahan segala deburan dalam dada Raisa mencoba menghampiri dan menenangkan sang suami.

"Diam kau wanita mandul! Tak peru bersikap bak pahlawan kesiangan, jika memang kamu mau menolong maka sekarang juga enyah dari rumah ini!" alih-alih berterimakasih, kebencian dan rassa tak suka Bu Ajeng semakin tersulut.

"Bu! Raisa adalah istri yang sangat Pampam cintai, sudah selayaknya ibu bisa lebih menghargai setiap usaha dia untuk membahagiakan keluarga kita!" Pambudi segera merengkuh tubuh Raisa dan membenamkannya ke dalam pelukannya, dia tak ingin hati Raisa semakin hancur dan terpukul dengan sikap Bu Ajeng yang terang-terangan menunjukkan sikap permusuhan dari awal mereka menikah.

"Kebahagiaan ibu hanya saat kamu bisa punya anak. Ingat, Pam sebagai satu-satunya anak yang terlahir dari Rahim ibu, kamu punya tanggung jawab besar untuk meneruskan silsilah keluarga besar kita. Untuk itu, ibu sudah menyiapkan wanita lain yang sudah jelas tak mandul untuk kamu nikahi!"

"Pampam sudah berjanji bahwa apapun yang terjadi, Raisa akan menjadi satu-satunya wanita yang kucintai sampai kelak. Meski takdir Tuhan tak mengizinkan kami menerima amanah-Nya, dia akan tetap menjadi istri yang sempurna dimataku!"

Tekad Pambudi telah bulat untuk secepat mungkin menyingkir dari rumah yang terasa semakin sesak. Kardus-kardus dan tas pakaian yang belum sempat dinaikkan ke atas mobil, dibiarkan terongok begitu saja. Tangannya gesit menarik tubuh Raisa untuk segera mengikuti langkahnya menuju mobil yang terparkir di halaman rumah.

Para tetangga yangasik bergunjing di lapangan samping rumah Bu Ajeng, tak sabar ikut melongokkanpandangan kea rah halaman rumah, saat mereka melihat Pambudi tampaktergesa-gesa memasuki mobil dan melajunya secepat mungkin. Menyisakan suaratangis dan jeritan Bu Ajeng yang semakin melengking, tak ubahnya seseorang yangbaru saja kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidup.

Merindu Amanah-Mu (TELAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang